Wednesday, December 14, 2016

makalah perkembangan ajaran tasawuf khususnya di Pulau Jawa

                                                       BAB I
                                              PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang

           Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit seperti yang dipahami oleh masyarakat Islam sendiri pada umumnya. Dalam sejarah terlihat bahwa Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut lahirlah berbagai disiplin ilmu keislaman, salah satunya adalah tasawuf.
          Secara garis besar, tasawuf merupakan sifat dan sikap kesucian kaum sufi. Dari itu karena tasawuf merupakan ilmu tentang kesucian jiwa, maka tasawuf adalah dasar atau landasan dari berbagai ilmu. Sedangkan sumber ilmu tasawuf sendiri adalah Al Quran, As-Sunnah serta Qiyas dan Ijma’ para Ulama’.
         Peletak  dasar itu tasawuf adalah imam – imam terkemuka yang memiliki kepekaan ke’arifan batin atas persaksiannnya dengan Allah yang maha suci.
         Seperti yang kita ketahui ,tasawuf sangat menyebar di indonesia, terutama di pulau jawa. Karena Jawa merupakan titik tumpu indonesia dari berbagai aspek. Diantaranya adalah ekonomi, budaya maupun sosial.
         

 1.2. Rumusan Masalah
 
Dari uraian tentang tasawuf di atas, kami merumuskan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, yaitu:
        a.      Apakah pengertian dari tawawuf itu sendiri?
        b.      Bagaimana perkembangan ajaran tasawuf khususnya di Pulau Jawa?
        c.      Apa sajakah ayat - ayat yang berhubungan dengan tasawuf?           


         1.3. Tujuan

Agar dapat mengetahui:
        a.     Pengertian dari tawawuf itu sendiri.
        b.     Perkembangan ajaran tasawuf khususnya di Pulau Jawa. 
        C      Ayat - ayat yang berhubungan dengan tasawuf.         



                                                                                                                                                          1                                                                                                                                                            
                                                  BAB II
                                           PEMBAHASAN

2.1
. PENGERTIAN TASAWUF

           Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih. Dinamakan shufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain mengatakan bahwa kata tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh pun miskin namun berhati mulia dan memang sifat tidak mementingkan kepentingan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi/ teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata suf yaitu kain yang dibuat dari bulu atau wool, dan kaum sufi memilih memakai wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
           Dari berbagai teori di atas, tampak bisa dipahami bahwa sufi dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang yang berada di serambi masjid dan bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari shufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan benda-benda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan pada aspek bathiniyah.
           Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan.
           Dalam ajaran tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat berada dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh latihan tertentu. Ia misalnya harus menempuh beberapa maqam (stasiun), yaitu disiplin kerohanian yang ditujukan oleh seorang calon sufi dalam bentuk berbagai pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.
           Mengenai jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh para Sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi misalnya, mengemukakan beberapa mawamat, yaitu: taubat, zuhud, sabar, al-faqr, al-tawadlu’, taqwa, tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, al-ma’rifat dan kerelaan hati.


                                                                                                                                                          2
2.2 TONGGAK-TONGGAK AWAL TASAWUF DI JAWA.
        Perkembangan tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf  berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
       Sedangkan perkembangan tasawuf di Indonesia sendiri khususnya Pulau Jawa, adalah termasuk salah satunya berkat para Sufi yang ada di tanah Jawa. Di tanah Jawa sejak dahulu memang kental dengan nuansa dimensi ruhaninya. Semenjak zaman Wali Songo yang diyakini sebagai penyebar agama Islam pertama, Islam menyebar dengan mengedepankan aspek eksoterismenya. Hal ini tidak terlepas dari jargon bahwa orang Jawa gone semu. Orang Jawa sepertinya lebih menyukai dimensi batin dibandingkan dengan syariat oriented, meski hal ini tidak berarti terjadi pengabaian soal syariat.
         Berkat ridho dan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Sunan Bonang yang berdarah campuran Samarkan – Campa, dengan cepat dapat menguasai bahkan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai media dakwahnya. Inti ajaran-ajaran tasawuf yang bersumber dari Al Ghazali, dengan sentuhan kelembutan dan cinta kasih  Jalaluddin Rumi, mengilhami serta mengobarkan semangatnya untuk  mengajarkan “wirasating ilmu suluk” atau jiwa ajaran tasawuf kepada masyarakat Jawa yang beragama  Syiwa – Budha dan menyenangi mistik.  Tasawuf yang menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-ilmu agama, disyiarkan melalui berbagai media komunikasi yang hebat yang belum pernah dikenal masyarakat.

          Ia menciptakan aliran silat tenaga dalam yang menggunakan jurus-jurus yang dinamai sesuai alpabetik huruf Arab, guna menggembleng jiwa raga para cantrik atau muridnya sekaligus sebagai sarana belajar huruf Arab. Ia menyempurnakan instrumen gamelan Jawa serta menggubah irama-irama yang baru dan khas, sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Ia menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman dalam  adat-istiadat dan budaya kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia berkhotbah dengan mendendangkan tembang-tembang yang indah dan merdu, yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam khususnya tasawuf. Tembang-tembang itulah yang kemudian kita kenal sebagai Suluk-Suluk Sunan Bonang.

          Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid andalannya yaitu Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria. Ajaran-ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, yakni ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan kebudayaan Jawa.

          Metode dakwah seperti itu disamping memiliki banyak keunggulan, ada pula kelemahannya, yang menurut penilaian Prof.K.H.Ali Yafie, belum sempat tuntas disempurnakan, datang penjajahan Belanda yang membawa tata nilai yang bukan saja baru, tapi juga dengan membawa agama lain berusaha menggilasnya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain berupa dipakainya tamzil dan simbol-simbol adat-kebudayaan Jawa  yang masih bercorak Syiwa atau Hindu-Budha, yang bisa multi tafsir -- bersama dengan kebudayaan Arab, Persi dan Melayu.
                                                                                                                                                          3
Demikian juga penyusupan nilai-nilai keislaman dalam adat-budaya yang dilakukan secara bertahap, yang semula dimaksudkan  agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

          Kelemahan-kelemahan tersebut sesungguhnya dari awal  juga sudah diduga dan dikuatirkan oleh wali-mubalig lainnya, yaitu Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang sendiri), Sunan Giri (saudara seperguruan Sunan Bonang)  dan Sunan Drajat, yang dalam cerita-cerita rakyat disebut Golongan Islam Putih. Mereka berpendapat Islam harus disyiarkan sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh sebab itu segala adat-istiadat yang tidak sesuai harus langsung dibuang, agar di kemudian hari tidak timbul salah persepsi yang membingungkan. Islam harus diajarkan secara murni dan bersih dari segala tata nilai yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran. Pendapat ini dipatahkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, yang khawatir dakwah akan gagal jika memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi nyata sasaran dakwahnya. Bahwa ada kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu dan generasi-generasi berikutnya yang menyempurnakan. Sunan Bonang yakin, umat Islam Jawa di masa depan akan bisa memahami sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, dan pada saat itu mereka akan membuang hal-hal yang tidak sesuai dengan aqidah.

          Penjelasan tadi akhirnya bisa diterima, dan selanjutnya para wali yang lain juga ikut memberikan  sumbangan serta peran yang sangat berarti dalam pengembangan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Di bidang seni suara, lahir tembang-tembang Dandanggula ciptaan Sunan Kalijaga, tembang Asmaradana dan Pucung oleh Sunan Giri, Sunan Bonang menciptakan tembang Durmo, Sunan Kudus mencitakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan Sinom dan Kinanti, sedangkan Sunan Drajat menciptakan tembang Pangkur. Mereka juga menggubah seni wayang menjadi seni wayang kulit seperti yang sekarang sangat popular, berikut lakon-lakon khusus yang tidak ada di dalam pakem induk pewayangan, yaitu pakem induk Ramayana dan Mahabarata. Demikian pula seni budaya yang lain, dikembangkan secara luar biasa misalkan seni ukir dan seni arsitektur.

          Hal lain yang juga menghambat penyempurnaannya sebagaimana dikhawatirkan Sunan Ampel, adalah peristiwa beberapa saat sebelum orang-orang Eropa berdatangan ke tanah Jawa, yakni berpindahnya kekuasaan Kesultanan Demak dari tangan Sultan Trenggono, putera dari pendiri Kesultanan, yaitu Raden Patah yang tiada lain adalah menantu Sunan Ampel dan  ipar Sunan Bonang sendiri, ke tangan Sultan Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono)  yang paham mistis kejawennya lebih kuat dibanding keislamannya. Sebagai akibatnya, di kemudian hari sering  timbul kerancuan dalam memahami tasawuf Jawa yang dirintis Sunan Bonang tersebut. Bahkan tidak jarang orang menganggap tasawuf, khususnya tasawuf Jawa, sebagai ilmu mistis semata yang tidak beda dengan ilmu-ilmu perdukunan.  Naudzubillah.

          Berdakwah secara bertahap dan menyusup ke dalam adat-istiadat serta budaya Jawa ini, menghasilkan suatu sikap masyarakat yang memeluk Islam namun dengan tetap menjunjung tinggi budaya Jawa, yang selanjutnya dikenal sebagai sinkretisme Islam – Jawa atau Islam Kejawen, dan merupakan cikal-bakal dari apa yang  kemudian disebut Islam Abangan. Kondisi masyarakat yang seperti itu dipelajari dan dimanfaatkan oleh Belanda bersama zending dan misionaris Kristen, guna  menancapkan kuku mereka di bumi Nusantara. Pemerintah Hindia
                                                                                                                                                          4
Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan yang berbeda dengan umat Islam Nusantara
khususnya Jawa.  Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sementara umat Islam berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut.

           Belanda menilai masyarakat nampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan saja yang ditutupi dengan agama Islam, sehingga bagaikan orang yang berselimut kain yang penuh lubang-lubang besar. Jadi pada hematnya, orang Jawa tidak begitu taat melaksanakan ajaran Islam. Berdasarkan penilaian itu maka mereka beranggapan akan dengan mudah membuat orang-orang Jawa menerima tata nilai Barat termasuk agama Kristennya. Meskipun demikian mereka juga menggunakan cara-cara halus untuk menghadapi umat Islam, antara lain dengan menggiring dan menyalurkan semangat umat ke arah yang bisa menjauhi agamanya melalui pengembangan kegiatan kebudayaan.

           Langkah itu ternyata salah besar. Para ulama yang semula tenang-tenang dalam lingkungannya, justru mengadakan reaksi dan perlawanan besar. Kesalahan kebijakan tadi sempat diperbaiki oleh Snouck Hurgronye menjelang akhir abad ke 19, namun semangat nasionalisme sudah terlanjur berkobar bersamaan dengan gerakan kebangkitan di negara-negara jajahan lainnya. Para priyayi dan bangsawan yang coba digarap menjadi jalur masuk sekularisme dan tata nilai Barat, ternyata sebagian besar justru bersinergi dengan pejuang-pejuang Islam. Walau para priyayi dan bangsawan itu sejak awal Dinasti Mataram-Islam tidak menyukai budaya Arab, tetapi jiwa tasawuf yang telah menyatu dalam kehidupannya berikut rasa kagumnya kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan para wali khususnya Sunan Kalijaga, membuat mereka tetap kokoh dalam keyakinan agamanya.



2.3 PARA TOKOH TASAWUF DAN KIPRAHNYA DI PULAU JAWA
Tokoh-tokoh besarTasawuf di Jawa dipelopori oleh tiga sosok kiai di tanah Jawa: Syekh Muslih Bin Abdur Rahaman Al-Maraqy ( Mranggen Demak), Syekh Romli Tamim (Rejoso Jombang), dan Syekh Dimyathi bin Muhammad Amin Al-Bantaniy (Cidahu Banten). Wejangan ketiga kiai ini menggambarkan simbiosis antara tradisi syari’ah dengan tradisi thariqoh di dunia pesantren Jawa dan menjadi bukti adanya dinamika keagamaan yang khas.
Syekh Dimyathi al-Bantaniy atau yang lebih terkenal dengan Abunya Dimyathi. Beliau merupakan sosok ulama dari Banten sekaligus pemimpin jama’ah Thariqoh Sadziliyah. Wejangan Beliau, sebagaimana lingkup membawa pondok pesantren, tidak terlepas dari penekanan “mengaji”. Pesan beliau yang terkenal: “Jangan ngaji ditinggalkan, meskipun jarak antara majelis dan jalan raya sangat jauh, atau di luar sana berkecamuk perang dahsyat”. Ada lagi pesan Abunya Dimyathi yang patut diingat, “Biarpun dunia runtuh 1000 kali, pengajian di majelis jalan terus…”
                                                                                                                                                5                                                                                                                                                    
Penekanan ini tidak terlepas dengan keyakian Beliau bahwa mengaji merupakan bentuk syukur hamba kepada Allah karena dikaruniai akal yang sempurna. Ngaji juga dikaitkan dengan upaya santri untuk membuang kebodohan dan gelapnya fikir (li izaalah al-jahli). Hal itu karena rancunya pikiran adalah bencana, carut marutnya nalar adalah “kegelapan” (Zhulumat) dan kegelapan adalah neraka. Selain itu mengaji merupakan hal yang tersulit dibandingkan menjadi wali. Orang lebih terpesona dengan kekeramatan seorang wali. Untuk memperoleh kharomah tersebut sangat mudah, tetapi menjaga keajekan ngaji adalah perjuangan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Meskipun Beliau berkecimpung dalam dunia sufi, tetapi tidak meninggalkan syara’. Pesan Abunya Dimyathi kepada santrinya penempuh jalan ma’rifat adalah derajat keutamaan tak mungkin diperoleh kecuali dengan kepatahuhan terhadap syara’. Jadi parameter utamanya adalah patuh pada syar’i. Maka, derajat seorang manusia di depan Allah selalu diukur dari seberapa banyak ia mau menjalankan perintah-perintah Allah dan lari dari larangan-laranganNya.
Berbeda dengan Abunya Dimyathi, Syaikh Romli Tamim merupakan Mursyid dari Thariqoh Qodariyah Wa Naqsyabandiyah. Beliau mengajar para santrinya di daerah Rejoso Jombang, Jawa Timur. Beliu juga seangkatan dengan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Tebuireng), dan Syaikh Wahab Hasbullah (Tambak Beras). Hanya saja, kedua ulama itu dikenal karena kerja-kerja keulamaannya, sementara Syaikh Romli dikenal karena wejangan-wejangan dan doktrin sufistiknya bagi para santrinya yang menginginkan wushul kepada Allah.
Wejangan Syaikh Romli bagi para santri suluk adalah “seharusnya bagi murid-murid thariqoh selalu tafakkur setiap waktu”. Maksud Syaikh Romli adalah seorang santri hendaknya tetap dalam keadaan “sadar”, senantiasa berdzikir dengan membentangkan perenungan pada akal ataupun nalar sehingga jalan dan gerak nafsu menjadi sempit dan terbatas. Sehingga menurut Syaikh Romli, baik dan tidaknya agama seseorang, bisa disebabkan oleh aspek dari tafakkurnya.
Senada dengan pendapat Abunya Dimyathi bahwa penempuh suluk tidak bisa meninggalkan syari’at. Oleh karena itu, Syaikh Romli berpesan, “syariat tidak bisa ditunda oleh hakikat!” Maksudnya bahwa kebenaran hakikat tidak bisa mengganti peranan syari’at karena dua hal tersebut tidak bisa dipisah. Menyitir ungkapan Syaikh Imam Ghozali dalam kitab Bidayahnya, Syaikh Romli menegaskan: “ Zahirnya takwa adalah syariat, sedangkan batinnya takwa adalah hakikat.” Singkatnya, rahasia yang tersembunyi dari syara’ adalah hakikat.
Syaikh Muslih Mranggen merupakan ulama thariqot yang lebih merakyat. Risalah kecilnya yang cukup terkenal adalah Futuhat ar-Rabbaniyah yang menguraikan doktrin sufistik “tersingkapnya ma’rifat ilahiyah”. Di dalam risalah kecil ini diuraikan agak mendatail dan teknis dalam penjelasannya tentang tata cara para santri dalam menjalankan thariqah, terutama 10 doktrinnya yang disebut sebagai “mabadi ‘ilmi ath-thariqoh” yang membahas landasan thariqoh Qodariyah Wa Naqsyabandiyah.
         Sebagai ulama thariqoh Qodariyah wa naqsyabandiyah, Beliau sangat menekankan zikir bagi para santrinya. Mengutip wejangan Syaikh Ali al-Murshifi, dalam kitab Minah as Saniyah,
                                                                                                                                                          6
Syaikh Muslih mengungkapkan:” Bahkan, para guru yang agung pun akan sulit memberi obat bagi para santri-santrinya agar memancarkan hati mereka, kecuali dengan mudawwamah dzikir!”.dzikir itu bagaikan batu gerinda yang terus menghaluskan hati para pengamalnya.
Dzikir laa ilaaha illallah, merupakan harga dan sekaligus kuncinya surga. Dalam pandangan Syaikh Muslih, dzikir menjadi “kunci” memasuki pintu surga maka sesungguhnya “kunci” itu terdiri dari berbagai “perangkat” lain yang merupakan bagian dari dzikir. Surga selalu digambarkan dengan keadaan tentram dan damai, maka tidaklah salah jika dzikir merupakan kunci surga, kunci ketenangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, bahwa hanya dengan berdzikir hati menjadi tenang.
Zikir kalimat thayibah, dalam kitab Tanbihul Ghofilin, mampu melebur 4000 dosa. Namun, Syaikh Muslih mengingatkan kita jangan menyalah pahami dengan berlaku “ceroboh” dan menganggap remeh “larangan-larangan” Allah karena menganggap dosa-dosanya mudah diampuni dengan tobat dan berdzikir kalimat thayibah. Menurut Syaikh Muslih, orang yang berperilaku demikian adalah orang-orang yang tertipu oleh nafsunya sendiri dan setan.
Demikian wejangan dari ketiga kiai yang cukup terkenal di kalangan ahli thariqoh di Tanah Air, khususnya tanah Jawa. Wejangan-wejangan para masyayikh ini sekirannya dapat menjadi bekal para salik dan umat Islam yang sebentar lagi menjalankan ibadah puasa. Sebab ibadah puasa bukanlah sekedar memuasakan perut dan nafsu libido. Puasa bukan sekedar menahan tetapi terus menerus mendzikirkan jasmani dan ruhani agar mencapai keseimbangan ketenangan dunia dan akhirat.

2.4 MENCAPAI HIDUP SEJATI MENURUT TASAWUF JAWA

          Menurut ajaran Sunan kajenar, tanda kehidupan itu adalah berdasarkan dalil hidup tidak akan mempan kematian, abadi selama-lamanya. Maka kehidupan sesungguhnya dapat di capai apabila sudah mampu menyatukan diri bersama Dzat Allah. Atas dasar itulah ia mengatakan bahwa alam didunia ini disebut alam kematian, bukan kehidupan. Ia berkata,”itulah sebabnya didunia yang saya tempati sekarang ini saya namai alam kubur. Di dunia ini saya menemukan raga bersifat jasad, sesuai dengan dalil al-‘alamu kullu maujudin yang artinya dalam tia-tiap alam, manusia menemukan raga bangkai. Maka sekarangpun sudah nampak.

          Hidup saya di dunia ini menemukan wujud jisim,tiang, sumsum, otot, serta daging. Saya tersesat di dalam dunia kematian ini. Di sini saya berjumpa dengan penyesatan agung, goda rencana, iblis, setan, dan neraka yang banyak sekali jumlahnya. Di dunia ini pula jisim terbelenggu rantai dan air panas.saya sungguh menyesal dalam keadaan mati di dunia ini. Menggunakan panca indra yang bersifat baru, perut dan isi perut selalu minta diisi . haus dan lapar sudah saya derita, sakit dan sedih sudah saya alami, darah dan daging turut menumpang, padahal semua itu akhirnya menjadi debu.”
                                                                                                                                                          7

         Sama halnya denga Sunan kajenar, wali songo juga mengajarkan bahwa hidup sejati hanya bisa diraih jika sudah meniadakan kedirianya sebagai manusia yang menyatukan diri dengan Dzat tuhan yang abadi selamanya. Caranya adalah dengan tanazul dan taraqi, yakni memahami dan mempraktikan ajaran martabat tujuh secara menurun dan mendaki.

A. Tanazul (menurun)

1. Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak ada satu nama pun yang mampu mewakili keberadaanya. Maka ia di sebut Aku. Inilah tuhan sejati, hidup sejati, sebagaimana diidam-idamkan oleh syekh siti jenar. Inilah martabat ahadiyah dalam tataran martabat tujuh. Tuhan sejati atau Aku ini berdiri sendiri tiada berawal dan berakhir, serta maha esa. Dia sendiri dan ingin di kenal, namun tidak ada yang dapat mengenalnya karena tidak ada yang lain selain dirinya. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-nya .

        Tuhan menciptakan suatu makhluk dengan bahan dirinya, karena tidak ada bahan lain. Jadi makhluk yanga akan dia ciptakan itu berasal dari dirinya sendiri, atau dengan kata lain makhluk itu bukan barang baru namun hanya penampakan lain dari rupa diri tuhan.sebagaimana dijelaskan ibnu arabi awal penciptaan dimulai dengan iradah dari Allah Ta’ala.sebagaimana firmanya idza araada syai’an an yaqulalahu kun fayakun(jika dia telah berkehendak terhadap sesuatu, cukup dia mengatakan jadi’maka jadilah ia) segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada karena irodat atau kehendak Tuhan. Sunan kajenar lalu menolak mengatakan manusia dan alam semesta ini sebagai ciptaan. Namun mereka ada karena menemukan keadaan . ibarat ombak yang menemukan keadaanya dari samudra. Ombak pada dasarnya tidak ada , namun merupakan bagian dari samudra tersebut.demikian konsep penciptaan menurut Sunan kajenar dan pada akhirnya diyakini oleh Wali songo dan para sufi lainya.

       Penampakan Tuhan ini berjalan secara menurun dan penurunan yang pertama adalah sebagai nur muhammad. orang islam menyebutnya sebagai Allah. Atas dasar ini sunan kajenar menolak menyebut Allah sebagai tuhan sejati. Allah hanyalah nama untuk menyebut diri tuhan. Padahal sejatinya dia tidak bisa di jangkau dengan nama.menurutnya, menyebut nama Allah adalah suatu kebohongan , kedurjanaan dalam beragama. Allah ada karena. Ini hanyalah nama untuk mempermudah pengenalan terhadapnya saja, tidak mewakili tuhan sesungguhnya. Nur muhammad /Allah tiada beda, setidaknya demikian menurut sunan kajenar.

2. Penampakan tuhan kedua dengan nama Allah ini ini sudah mengurangi kesempurnaan diri-nya. Sekali lagi sunan kajenar dan murid-muridnya enggan menyembah Allah. Dia mengatakan bahwa Allah bersemayam dalam Dzatnya. Mereka engan untuk sholat di masjid, puasa, zakat,
                                                                                                                                                          8
 serta haji dengan harapan surga sebagaimana yanga di janjikan Allah melaui Nabi “Muhammad.                                                     
Penurunan ini bukan berarti bahwa tuhan ada dua .tetap satu. Dia hanya menampakkan diri dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal. Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, dan nama Allah merupakan jembatan atau jalan tengah agar dia dapat lebih mudah dikenal. Tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahdah.

3. Rupanya, dengan penurunan diri dengan nama Allah ini pun masih belum cukup dikenal secara mudah. Maka Tuhan menurunkan diri lagi menjadi bersifat kemakhlukan, yakni Nur Muhammad yang tidak lagi bernama Allah. Nur Muhammad pada tahapan ini bersifat mendua, yakni selalu berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Tahapan ini biasa di sebut Martabat Wahidiyat. Bahan penciptaan alam semesta berasal dari Nur Muhammad pada martabat ini. Semuanya terkumpul menjadi satu.

4.  Dari Nur Muhammad yang telah bersifat kemakhlukan ini, terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah roh-roh atau alam arwah. Roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap-tiap benda. Roh ini berasal langsung dari Tuhan, ibarat diembuskan dari dirinya. Kehidupan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan, maka dia menjadikan roh-roh ini sebagai sumber kehidupan. Hidup makhluk ini berasal dari roh-roh ini . atas dasar ini pulalah sunan kajenar mengatakan bahwa kehidupan makhluk ini hanyha semu saja karena berasal dari sumber yang kecil, Kehidupan.

5.  Sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Untuk itu, Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Nur Muhammad yang bersifat makhluk itu terurai menjadi bagian-bagian terpisah yang masih halus. Inilah alam misal. Di dalamnya terkumpul berbagai jenis makhluk, seperti Malaikat, jin, setan, iblis, jiwa manusia , surga, neraka, dan sebagainya. Dalam Alam misal ini manusia sudah ada namun masih berbbbbbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga. Selanjutnya Tuhan menampakkan Dzatnya sebagai wadah perbuatan, nama, dan sifatnya, sehingga muncullah alam ajsam.

6.  Pada alam ajsam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa dirinya. Perbuatan, nama dan sifat alam semesta adalah wajahnya. Semua itu terbungkus dalam sifat kemakhlukan yang serba mendua, ada hitam dan putih, ada baik dan buruk, ada senang ada sedih. Jadi, hidup sebagai makhluk selalu diliputi sifat ketidak sempurnaan. Lain halnya Dzat Tuhan yang mandiri, langgeng, tunggal, tidak tersentuh rasa lapar, ngantuk, sakit dan sedih.

7.  Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta ini pada hakikatnya adalah gambaran rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna,
                                                                                                                                                          9
 karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan Dzat maulana wajibul wujud hingga menjadikan dirinya sebagai wakil tuhan di dunia. Inilah manusia sempurna, manusia yang telah sampai pada hakikat dirinaya, yakni Dzat yang sempurna. Hidup Sejati sebagaimana yang di ajarkan oleh Wali Songo dan sunan kajenar akhirnya bermuara pada penyatuan kepada Dzat yang sejatinya.

B.Taraqi (mendaki)
1.  Kehidupan yang di lihat orang-orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan orang tertipu oleh penampakan jasmani ini. Manusia yang hidupnya hanya beroientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan fisik hewan, tumbuhan, dan benda-benda bumi lainya. Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, udara, kenyataanya hampir semua orang saat ini lebih disibukkan dengan urusan fisik ini. Menjadikan fisik ini sebagai tolak ukur dalam hidupnya. Banyak sekali contoh yang bisa di lihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Maka lengkaplah kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan-urusan fisik semata sehingga semakin tebal dinding untuk dapa melihat Tuhan.

2.  Manusia adalah makhluk yang berjiwa ia di beri anugerah akal untuk dapat berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk yang lain. Manusia juga di beri anugerah hati agar dapat merasakan. Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia telah selangkah lebih maju di bandingkan manusia yang sekedar mengandalkan kelebihan fisik semata. Ia telah mampu menggunakan akal dan hatinya namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat-tingkat. Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana di sebutkan dalam alqur’anafalaa ta’qilun. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat kealaman. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam perspektif duniawi. Demikian pula dengan kerja hati ia juga memiliki beberapa tingkatan, yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Ia akan rakus mencari uang. Kalaupun berbuat baik, lebih sering hal tersebut di sertai dengan pamrih lainya.

          Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan kerja akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal tuhan daripada mereka yang masih terkungkung pada diri yang hanya berorientasu pada fisik semata. Lebih tinggi lagi, sebagian manusia yang sudah bisa mengaktifkan kerja akal kedua, yakni Fikr sebagaimana firman Allah ta’ala: afala tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia ini namun nyata kebenarannya seperti”: surga, neraka, malaikat, setanh, pahala, dosa dan sebagainya. Agana Islam diturunkan dengan
                                                                                                                                                        10
membawa kabar gembira tentang adanya surga beserta kenikmatanya yang ada didalamnya. Juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuanya. Adanya surga neraka serta malaikat-setan merupakan motivasi agar mereka mau menyembah tuhan. Seandainya surga dan neraka tidak ada bagaimana?? ... sebenarnya klo buat saya pribadi walaupun tidak ada surga dan neraka sebernya tujuan kita yang paling utama adalah untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya karna dengan kedekatan itu tiada nikmat yang lain selainya bersama keagunganya atau kita bermujahadah langsung. Menurut Sayyidina Ali manusia yang menyembah Tuhan karna surga-neraka adalah manusia yang berjiwa budak dan berjiwa pedagang, yakni hanya mau menyembah Tuhan jika diancam dengan neraka dan di janjikan hadiah surga. Manusia yang beginilah yang tidak pernah akan maju sepiritualisnya. Cobalah belajar menjalankan makna kitab suci kita bukan menjalankan artinya sekali lagi makna dari Al Qur’An.

           Padahal klo kita mau belajar tentang makna Al Qur’An luar biasa sekali untuk diresapi. Inilah yang di lakukan para generasi muslim sesudah Kanjeng nabi khususnya para tokoh sufi. Persis sindiran tokoh sufi jawa sunan kajenar mengatakan: Sebagian kaum santri yang terkutuk dan mabok tobat, mereka beribadah bukan dengan niat yang tulus murni tetapi karena mengaharapkan sesuatu selain Tuhan.

          Namun setidaknya manusia yang sudah terbuka fikr-nya seperti ini lebih baik daripada mereka yang masih terkungkung oleh nafsu duniawi. Ini adalah jalan untuk mengenal tuhan lebih lanjut. Manusia yang telah memahami, menghayati, dan merasakan kehadiran alam surga,neraka,malaikat,setan, serta segala sesuatu yang berkaitan denganya berarti ia telah memasuki pengenalan terhadap alam misal sebagai bekal untuk mengenal tuhan lebih lanjut.

3. Selanjutnya manusia diharapkan mengenal rohnya.inilah nyawa yang membuat jasmani dan jiwa manusia menjadi hidup. Jasmani tidak akan bergerak jika tidak mendapat perintah dari jiwa, dan jiwa tidak dapat memberi perintah pada gerakan jasmani jika tidak terdapat roh didalamnya. Inilah yang bisa dipahami kebanyakan orang sebagai hidup. Selama roh masih melekat dalam badan jasmani seseorang maka orang tersebut di katakan hidup. Ketika sedang tidur manusia bergerak dan tidak merasakan sesuatu karena jiwanya keluar dari jasadnya. Namun ia tetap dikatakan hidup karena rohnya masih berada dalam jasad. Ketika bangun, jiwa kembali menyatu dalam badan hingga hidupnya di dunia menjadi sempurna. Ketika roh terlepas dari badan, otomatis jasmani tersebut tidak bisa dipakai lagi. Jiwa tidak lagi mampu menggunakanya, sehingga ia disebut mati. Roh ini disebut dengan nyawa. Dalam AL Qur’an, Tuhan meniupkan roh manusia ini yang berasal Roh Agung kepunya-anya. Ki Ageng Pengging mengatakan nyawa manusia berada dalam tirta nirmala atau air kehidupan atau maa’ul hayat.
                                                                                                                                                        11
Ia berada dalam uni nong ana nung atau Dzat Tuhan. Jika kalau manusia sudah bisa mengerti tentang ilmu kasempurnaan tentang ini, maka ia bisa mencabut nyawanya sendiri seperti sunan kajenar, sunan kalijaga dan sebagainya. Karena beliau sudah melebur dirinya dengan Dzat Tuhan. Bagi para tokoh sufi yang sudah bisa menyatukan diri dengan Dzat Tuhan dan menganggap budi serta kesadaran manusia sebagai Tuhan. Baginnya kodrat atau kekuasaan dan iradat atau kehendak Tuhan sebagai ilmu sejati. Semua sifat Tuhan yang dua puluh jumlahnya, jika di gulung menjadi satu dan melekat dalam budi, maka budi menjadi lestari, kekal selamanya.

        Ini berarti, wujud mutlak itu akan menjadi Dzat, tiada bermula, tiada berakhir, tiada berasal, tiada bertujuan. Sunan kajenar telah bersemayam dalam kodrat atau kekuasaan Tuhan hingga ia berkuasa untuk mengambil nyawanya sendiri, serta bersemayam dalam iradat atau kehendak Tuhan hingga kehendanya adalah kehendak Tuhan. Kapan saja ia mau, ia bisa melakukanya. Dengan mudah sunan kajenar dapat menutup sumber air kehidupannya, atas kuasa dan kehendak Dzat Tuhan dalam dirinya, sehingga ia pun mengambil nyawanya sendiri.
Roh atau nyawa manusia berasal dari Tuhan secara langsung. Adapun jasmani ia adalah gambaran maya saja, Dzat yang tidak lebih hanya sekedar simbol. Jasmani ini akan menjadi penghalang bagi manusia yang atidak mampu menangkap rahasia diciptakanya jasmani tersebut. Namun bagi orang yang sudah tersingkap pandangan batinya. Ia akan melihat Dzaty Tuhan dalam Dzatnya. Bagi sunan kajenar jasad manusia adalah rupa Tuhan dan menurut Wali Sango kepala manusia adalah singgasana kemakmuran Tuhan , dada manusia adalah singgasana kemuliaan Tuhan, dan kemaluan manusia adalah singgasana kesucian Tuhan. Keduanya tak jauh berbeda, jasad manusia adalah gambaran dari rupa tuhan!! .......seperti yang tertulis didalam kitab ihya ulumudin”” wa Allahu dzahir al-insan, wabatinul insani baytullahu”” artinya : lahiiriah manusia itu wajah Tuhan dan batiniah manusia itu rumah Tuhan.. melalui pandangan ini, mengenal Tuhan pun bisa dilakukan jasmani dengan menganggapnya sebagai gambaran dari wajah Tuhan. Adapun Dzat sesungguhnya adalah dalam rahsa. Demikian pula dengan jiwa, ia adalah gambaran dari perbuatan, nama dan sifat Tuhan. Sehingga mengenal Tuhan juga bisa di lakukan melalui gambaran jiwa diri dan orang lain. Yaitu melihat perbuatan, nama, dan sifat Tuhan.

             Menurut sunan kajenar alam semesta ini tidak diciptakan tetapi menemukan keadaan. Tuhan tidak menciptakan barang baru. Dia maha tunggal sehingga apa saja yang dia ciptakan pada dasarnya adalah dia juga, karena bahanya berasal dari-Nya. Demikian pula dengan alam semesta ini, sebagai gambaran penampakanya. Alam ajsam atau alam jasmani ini adalah gambaran wajah Tuhan dan alam misal atau alam jiwa ini adalah gambaran perbuatan, nama, dan sifatnya. Semua itu pada dasarnya Tuhan juga.


                                                                                                                                                        12

4.  Roh manusia satu dan roh manusia lainya pada dasarnya satu kesatuan, karena berasal dari sumber yang satu. Sumber Roh tersebut sdslsh Roh Agung atau Nur Muhammad dalam perspektif kemakhlukan ini di sebut martabat wahidiyat. Manusia yang mengira bahwa hidupnya bergantung pada Roh bagian yang berasal dari Roh Agung akan berpendapat bahwa hidupnya di dunia sebagai kehidupan yang sejati. Padahal, Roh yang ia peroleh hanyalah sekedar tiupan kecil dari Roh Agung tersebut. Berbeda dengan sunan kajenar, ia menganggap hidup di dunia ini sebagai kematian karena terlempar dari Roh Agung kepada Roh kecil di dunia. Maka ia begitu rindu untuk secepatnya kembali pada Rohnya yang utuh.

5.  Roh Agung pada martabat Wahdah ini bukan lagi sebagai makhluk, namun lebih dekat pada sifat ketuhanan. Dia adalah satu, namun masih masih bukan Tuhan yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini, Roh bukan lagi makhluk dan tidak berkaitan dengan makhluk.

6.  Akhirnya semua sifat tuhan dalam Martabat Wahdah, termasuk sifat Hayyun atau Maha Hidup,yaitu ketika Roh Agung termasuk didalamnya, digulung menjadi satu. Jadilah Dzat Tuhan atau uni nong ana ning atau Aku.













                                                                                                                                                        13
                                                                                                                                        
                                                    BAB III
                                                  PENUTUP

        Dari uraian yang telah kami paparkan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan para ulama dalam bertasawuf, yaitu dengan cara bersesungguh-sungguh mengingat Allah bahwa Dialah Sang Maha Mursyid sebenarnya.

      Adapun segala yang telah diterangkan tentang gambaran kezuhudan para ulama tersebut, berlaku bagi kaum muslimin di tanah di Indonesia khususnya di tanah Jawa. Hal ini di perkuat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:

“Hendaklah kamu selalu mengingat Allah, pasti kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Hendaklah kamu mengingat Allah di waktu lapang (senang), niscaya Allah akan mengingat kamu di waktu sempit (susah). Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”)

Dari kutipan hadist diatas, kita dianjurkan untuk selalu mengingat Allah dimanapun kapanpun. Sebagai bentuk kecintaan kita pada-Nya.












                                                                                                                                                        14

                                                                 DAFTAR PUSTAKA

Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawuf (al-Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah,           Cairo, 1969) h. 28
Ibrahim Basuni, Nasy’ah al-Tashawuf al-Islami, Juz III (Dar al-Maarif, Mesir, 1119), h. 9
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filasafat dan Tawawuf (Dirasah Islamiyah IV)(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 153
Al-Ustadz Abdullah Taslim, Hakikat Tasawuf , Lc. (Mahasiswa S2 Pasca Sarjana Universitas  Islam Madinah).



















                                                                                                                                                        15

1 comment:

Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?