Wednesday, June 6, 2018

eksistensi perempuan perspektif psikologi perempuan



s    Sejak zaman dan sepanjang sejarah manusia, orang selalu ingin mengetahui teka-teki dan misteri yang ada pada diri perempuan. Khususnya, masalah ini yang sangat menarik bagi kaum pria. Sedang perempuan sendiri yang merupakan teka-teki ingin juga ikut memecahkannya dan berusaha memahami akunya sendiri via intropeksi terhadap psikologi fisik dan segala kemampuannya.
Banyak hal menarik yang ada pada diri seorang perempuan. Sehingga tidak heran jika banyak yang memberikan komentar dan berpendapat untuk menjelakan tentang kejiwaan seorang perempuan. Penjelasan tentang kejiwaan sorang perempuan bermacam-macam, ada yang bersifat mengagungkan sebagaimana penjelasan dalam islam bahwa perempuan adalah perhiasan, sebaik-baiknya perhiasan adalah perempuan shalihah. Ada juga yang merendahkan perempuan. Salah satunya adalah aristoteles[1], nietzsche, schopenhauer, dan beberapa kitab-kitab suci yahudi tentang wanita.
Perempuan harus dipandang sebagai manusia yang bermartabat supaya terlihat bagaimana kesempurnaan perempuan serta apa hak dan kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai entitas yang dapat menjadi aset bagi kemaslahatan masyarakat melalui proses pembinaan manusia-manusia luhur, supaya terlihat apa hak perempuan dan bagaimana kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai elemen dasar rumah tangga yang meskipun eksistensinya sama-sama dibentuk dan diperani oleh laki-laki dan perempuan tetapi ketenangan dan ketentramannya sangat bergantung pada peran dan bawaan alamiah perempuan. Perempuan harus dipotret dengan lensa demikian agar terlihat bagaimana perempuan dapat menemukan kesempurnaannya dan dimana hak-haknya berada.
Dalam diri perempuan terdapat berbagai petensi yang patut untuk digali dan diberdayakan bukan dibiarkan begitu saja bahkan menganggapnya seperti tidak penting. Potensi dalam diri perempuan akan merubah peradaban perempuan bahkan peradaban manusia. Salah seorang psikolog amerika serikat, william james memandang bahwa penemuan atas potensi manusia yang belum tergali sebagai penemuan terpenting di zamannya. James mengatakan :”saya yakin seyakinnya bahwa kebanyakan orang secara fisik, intelektual maupun secara moral hidup dalam potensi lingkaran yang sangat terbatas...” di balik keterbatasan perempuan tersimpan potensi-potensi besar yang patut untuk diberdayakan.


1.      Bagaimana Eksistensi perempuan menurut psikologi klasik ?
2.      Bagaimana Eksistensi perempuan menurut psikologi modern?
3.      Bagaimana Mesteri kepribadian perempuan dan beberapa sifat khasnya?






A.    Eksistensi perempuan menurut psikologi klasik
Psikologi klasik menggunakan paradigma androcentrism, yaitu suatu cara pandang dalam menjelaskan eksistensi perempuan berdasarkan norma laki-laki.
Betapa malangnya nasib perempuan karena mereka dipandang sebagai makhluk yang harus menyesuaikan dengan norma yang dibuat laki-laki. Jika tidak pas dengan selera laki-laki, perempuan dianggap tidak normal. Menurut jalaluddin rahmat, permpuang digambarkan oleh psikologi androcentris sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan psikisnya untuk memelihara anak(kinder), memasak(kushe), dan beribadah(kireshe).[2]
Untuk mempertahankan konsep yang misogonis dan memarginalkan perempuan, para ahli psikologi androcentris mengajukan teori tentang naluri keibuan(maternal instinctive) untuk konsep kinder, dan teori tugas keibuan (mothering mandate) untuk konsep kushe. Dengan teori-teori tersebut yang terus dipopulerkan, perempuan berada di kawasan domestik untuk mengasuh anak, memasak, dan beribadah melayani keluarga. Salah seorang ahli psikologi yang pandangannya sangat bias adalah sigmund freud dan dua orang muridnya,m eric erikson dan hellen deutsch. Pandangan psikologi freud sangat bias karena penelitian-penelitiannya hanya berdasarkan pada laki-laki sebagai subjekk penelitiannya. Freud tidak mengakomodasi pengalaman, visi, dan perspektif perempuan. Ia hanya menyusun pandangan yang sama untuk kedua jenis kelamin karena ia hidup tidak bergaul dengan perempuan, kecuali putrinya, anna. Freud sangat renggang hubungannya dengan isteri dan pasien-pasiennya yang perempuan, sehingga tidak memahami eksistensi perempuan yang sesungguhnya.
Erikson juga mempelajari perempuan, sehingga ia hanya berspekulasi menggambarkan keprbadian perempuan dengan cara membuat generalisasi dari kepribadian laki-laki dalam teorinya the eight stage of man, yaitu delapan tahap perkembangan manusia yang dipandang sama antara perempuan dan laki-laki. Padahal kenyataannya, perkembangan kepribadian perempuan tidak mutlak melewati tahapan-tahapan sebagaimana yang terjadi pada laki-laki.[3]
Helen deutsch, sekalipun ia seorang perempuan, tetapi sebagian besar pandangannya masih androcentris mengikuti gurunya. Ia memperkokoh citra perempuan seperti digambarkan freud. Menurutnya perempuan memilik karakteristik narcisisme, pasive, dan masochisme. Narcisisme adalah cinta dan kekaguman perempuan terhadap kecantikan dan keindahan tubuhnya sendiri denga cara menghias dan mempercantik diri. Pasive adalah kecenderungan perempuan untuk bersikap pasrah, menyenangkan, dan mengikuti selera laki-laki. Masochisme adalah kesediaan permpuan untuk menderita sakit dan menyerah pada kekerasan.
Banyak pandangan yang dikembangkan oleh psikologi klasik untuk mengukuhkan strereotype perempuan. Misalnya, jika perempuan tidak suka berhias dan bersolek atau bersikap menentang dan sangat aktif, mereka di pandang sakit dan mengidap kelainan psikis. Denan narcisisme, perempuan menjadi makhluk pemuas birahi laki-laki karena kecantikan, daya tarik, dan keanggunannya untuk dapat dijadikan respetif secara seksual dan lebih keibuan. Dengan pasivitas, perempuan menjadi korban kebebasan dan perlakuan sewenang-sewenang kaum laki-laki.
Para ahli psikologi klasik denga serta merta menciptakan variabilitas untuk menggambarkan inferioritas perempuan. Perempuan tidak perlu melibatkan diri dalam kegiatan ilmiah karean kecerdasannya lebih rendah, struktur otaknya kurang terspesialisasi, dan kepribadiannya lebih emosional dibandingkan laki-laki. Demikian pula dikembangkan pandangan bahwa kecerdasan laki-laki itu menyimpang dari rata-rata dibandingkan dengan perempuan, sehingga yang paling cerdas mesti laki-laki, sedangkan perempuan moderat saja. Perbedaan kecerdasan ini disebabkan tengkorak perempouan lebih kecil daripada tengkorak laki-laki, demikian pula otak, ukuran, dan kapasitasnya lebih dekat dengan otak gorila dari pada otak laki-laki yang paling maju.
Hipotesis tersebut di atas semakin meyakinkan pandangan psikologi klasik bahwa perempuan secara signifikan daya intelektualnya lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan kiprah perempuan di berbagai bidang kehidupan,sepertibidang sosial, ekonomim, hukum dan politik yang lebih rendah daripada kiprah laki-laki.
Sampai saat ini sejumlah pengetahuan yang dikembangkan oleh psikologi akademisi tampaknya mendukung kepercayaan stereotype tentang kemampuan dan karakteristik psikologi perempuan dan laik-laki. Kepercayaan seperti itu kebetulan mendukung ketimpangan yang ada di antara kedua jenis kelamin ini dalam bidang politik, hukum, dan ekonomi.
Padahal hipotesis yang terbukti secara kebetulan itu tidak dapat dijustifikasi secara ilmiah, karena tidak didukung oleh bukti empirik yang meyakinkan. Pantaslah freud dikritik pandangannya habis-habisan oleh adler dengan mengatakan, “semua lembaga kita, sikap tradisional kita, hukum kita, moral kita, adat kita, memberikan bukti bahwa semuanya dipertahankan oleh laki-laki yang mempunyai hak istimewa dan untuk kejayaan dominasi laki-laki.
Perempuan dalam pandangan psikologi modern
Psikologi kontemporer mengacu pada paradigma psikologi feminis, yaitu suatu cara pandang memahami eksistensi perempuan berdasrkan norma perempuan. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk meruntuhkan pandangan yang telah terlanjur diyakini secara umum.[4]
Suatu fakta biologis yang tidak dapat disangkal, perempuan dikodratkan untuk haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Suatu fungsi yang tidak dapat diambil alih oleh laik-laki. Fakta ini menimbulkan konsekuensi yang penting bagi kehidupan manusia. Manusia berbeda dengan makhluk lain, ia memilik kemampuan untuk menginternalisasi komposisi biologisnya sehingga terbentuklah kenyataan sosial baginya. Apa yang dipandang sebagai perilaku perempuan atau laki-laki, tergantung pada bagaimana fakta biologi itu diasosiakan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam tata hidup masyarakat tertentu. Jadi perbedaan perempuan dan laki-laki mencerminkan interaksi antara komposisi biologis dan pola kehidupan sosial.
Penelitian psikologi yang telah dilakukan beranggapan bahwa perbedaan antara sifat keperempuannan(fminity) dan sifat kelaki-lakian(masculinity) sangat erat hubungannya dengan perbedaan biologis antara perempuan dan liki-laki. Dengan demikian, perbedaan kedua sifat  itu diasumsikan sebagai dua kutub yang berbeda sehingga jika seseorang menunjukkaan tingakh laku yang tidak sesuai dengan norma perempuan atau laki-laki, dianggap mempunyai kelainan
Asumsi tersebut mestinya dilakukan untuk mengukur sifat perempuan dan laik-laki dengan menggunakan skala kontinum yang berbeda. Konsep ini disebut dengan konsep dua kutub (bipolar), tetapi para ahli psikologi kalsik menggunakan model skala kontinum dipandang sebagai gejala satu dimensi dan bukan gejala multidimensional.
Dengan model skala kontinum tunggal, perempuan tidak menjadi dirinya sendiri, mereka harus menyesuaikan diri terhadap norma laki-laki. Oleh karena laki-laki yang menjadi norma, psikologi klasik termasuk psikologi androcentris (serba dan berpusat pada laki-laki). Sedangkan dalam psikologi feminis, pendefinisian perempuan dengan perspektif perempuan (geneosentris).
Penelitian yang dikembangkan oleh psikologi feminis selain menggunakan pendekatan bipolar dilakukan juga pendekatan dualistik. Dalam konsep dualistik, sifat feminin dna maskulin dipandang sebagai dua dimensi yang berbeda, tetapi kedua sifat tersebut dalam taraf tertentu dapat ditemukan pada satu individu. Sebagai contoh, psikolog jung membedakan prinsip animus untuk sifat laki-laki, dan anima untuk sifat perempuan.
Demikian juga bakan menandang adanya dua prinsip agency dan communion yang menjadi ciri makhluk hidup. Kedua prinsip ini harus saling mengimbangi agar individu dapat mempertahankan hidup. Konsep dua prinsip ini kini mewarnai paradigma psikologi modern untuk menjelaskan eksistensi perempuan dan laki-laki.
Penelitian utnuk mengidentifikasi ciri-ciri dan sifat-sifat perempuan dalam psikologi umumnya dilakukan dengan mengukur sex role preference dan sex role adoption. Untuk mengukur sifat tersebut, menggunakan skala kontinum bipolar dan dualistik. Jika diasumsikan sifat perempuan dan laki-laki terletak pada dua dimensi yang berbeda, maka digunakan dua skala kontinum yang berbeda. Denga model penelitian bipolar dan dualistik yang dikembangkan oleh psikologi feminis, posisi perempuan menjadi equel dan humanis.
Dalam memahami fakta biologis, eksistensi perempuan dan laki-laki dianalisis menggunakan pendekatan bipolar. Fakta biologis menunjukkan perempuan secara kodarati dapat haid, hamil, melahirkan, dan menyusui, sedangkan laki-laki secara kodrati dapat membuahi sel telur perempuan, sesuai dengan potensi organ dan reproduksi yang dimiliki masing-masing yang berkonsekuensi pada fungsi reproduksi yang berbeda. Perbedaan fakta biologis ini tidak mengindikasikan yang satu lebih unggul atas yang lain, tetapi untuk menunjukkan bahwa fungsi-fungsi yang terdapat pada masing-masingpotensi tidak akan terjadi tanpa ikatan ketergantungan, dan saling melengkapi. Dengan kata lain, fungsi reproduksi hanya terjadi karena ada perbedaan potensireproduksi yang dimiki oleh perempuan dan laik-laki, dan juga fungsi reproduksi tidak akan terjadi  oleh dirinya sendiri, tanpa saling ketergantungan dan kelengkapan dari lain jenis.
Dalam memahami sifat feminin dan maskulin, psikologi feminis menggunakan pendekatan dualistik, karena kedua sifat itu dapt ditemukan ada pada satu individu. Oleh karen itu, pelabelan(stereotype) sifat perempuan sebagai inferior, lemah lembut, emkosional, lebih rendah intelektualnya adalah keliru karena tidak didukung oleh metodologi  penelitian yang tepat dan bukti empirik yang kuat. Stereotype yang muncul dari ideologi patriarkhisme dan statusquo yang ingin mempertahankan superioritas laki-laki. Toeri-teori psikologi androcentris hanya dikembangkan berdasrkan fantasi laki-laki yang diproyeksikan kepada perempuan.
Posisi perempuan yang kurang kuat di masyarakat itulah yang mempengaruhi perilakunya, karena ia harus menyesuaikan dengan keinginan laki-laki yang berkuasa. Perilaku perempuan merupakan saut reaksi untuk memprotes hak istimewa dan keskuasaan laki-laki. Narcisisme, masochisme, dan pasivitas hanyalah topeng yang dipakakan laki-laki kepad perempuan. Lahirnya psikologi fmeinis merupakan kritik terhadap kekuatan sosial yang memaksa perempuan hanya berperan sebagai ibu dan memilik tugas keibuan. Ideologi ibuisme hanya menciptakan sebuah budaya patriarkhi yang dibalut dengan bingkai penghormatan agar tampak lebih etis secara budaya.[5]
Dahulu pengasuhan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ibu. Pandangan lama menganggap sosialisasi merupakan bentukan orang tua, guru dan masyarakat. Kini banyak pandangna yang meyakinkan bahwa keibuan adalah sikap yangdpat diberikan oleh siapa pun selain ibunya sendiri. Pandangan baru mengatakan  bahwa muali awal bayi itu aktif, sehingga tugas ibu bukan menciptkan sesuatu dari ketiadaan, tetapi menyesuaikan perilakunya dengan kepentingan anak, mana yang penting mendapat perilaku keibuan sehingga perilaku keibuan dapat pula dilakuakn oleh orang selain ibunya. Permpuan menjadi berkepribadian keibuan karena proses belajar, latihan dan pengalaman, bukan potensi yang dibawa sejak lahir. Menurut Chodow, “tidak semua perempuan menjadi ibu atau berjiwa keibuan, banyak pula laki-laki yang mempunyai sifat keibuan karena belajar”. Menurut parwati soepangat, “para bapak perlu dilibatkan dalam pengasuhan anak untuk memberikan variasi stimulus agar potensi anak berkembang secara optimal dan memiliki iktan emosional dengan bapaknya”.
Pendapat Chodorow dan soepangat tersebut menolak teori bahwa secara biologi perempuan mempunyai naluri keibuan. Sseseorang dapat cakap dalam peran keibuan hanya karean belajar, maka laki-laki pun sangat munkin mempunya kecakapan tersebut, sehingga pengasuhan anak tidak hanya tergantung kepada ibunya. Oleh karena itu, perempuan bukanlah satu-satunya agen yang bertugas mendidik dan membesarkan anak.
Dengan uraian tersebut jelas kebudayaan melalui stereotype telah membentuk perempuan menjadi pasif, masokis dan penurut. Konteks sosial inilah yang sering dilupakan para ahli psikologi klasik dlaam memahami eksistensi perempuan. Jadi perilaku perempuan ditentukan secara biologis, dan bukan pula mengidap kelainan psikis tetapi karena budaya telah melabelkan perilaku yang banyak merugikan perempuan. Bukankah kalau biaya pendidikan terbatas, maka anak laki-laki yang diprioritaskan  daripada anak perempuan?
Banyak peristiwa dalam kehidupan keseharian yang menyudutkan kaum perempuan. Misalnya, perempuan dipandang memiliki sifat emosional, cengeng, dan mudah menangis. Jika ditelusuri dari akar penyebab perempuan itu suka menangis, tampaknya karena norma sosial membiarkan perempuan menangis dan sebalinya mengecam laki-laki yang menangis.
Adapun hujatan psikologi androcentrisme mengenai kecerdasan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki mendapat jawaban dari psikologi feminis berdasarkan hasil penelitian wolley terhadpa sejumlah mahasiswa perempuan dan laki-laki dalam kemampuan indrawi dan motorisnya. Ia menemukan, persamaan kemampuan intelektual perempuan dan laki-laki lebih besar dari pada perbedaannya.
Penelitian-penelitian di bidnag psikologi terus dilakukan, dan tidak lama kemudian dilaporkan bahwa bagian otak yang ada hubungannya dengan intelek adalah parietal lobes. Berdaskan hasil temuan penelitian terhadap struktur otak, menunjukkan bahwa perempuan justru lebih intelek dari pada laki-laki.
Kendatipuanimun telah jauh menemukan berbagai bukti dari bebrapa hasil penelitian tentang struktur otak manusia, namun psikologi androcentrisme tetap mempertahankan pandangan yang misoginiis dengan cara mengalihkan pendapatnya bahwa kecerdasan permpuan tidak hanya dihubungkan dengan struktur otaknya, tetapi harus dihubungkan dengan mekanisme hormonalnya, di mana fungsi kesadaran perempuan akan mengalami gangguan saat datangnya haid.
Mesteri tentang pribadi perempuan dan beberapa sifat khasnya
Wanita pada hakikatnya mampu bekerja yang sama baiknya dengan kaum pria, hal ini dibuktikan pada masa-masa peang dunia pertama dan kedua, dalam betuk macam-macam pekerjaan  di front terdepan dan di garis belakang. Namun cara kerjanya kaum perempuan ternyata berbeda dengan cara bekerja nya kaum laki-laki yaitu kha keperempuannya.
Selanjtnya beberapa sifat khasnya yang banyak di tuntut dan disoroti oleh masyarakat luas adalah 1) keindahan 2) kelembutan dan 3) kerendahan hati.[6]
Mengenai keindahan  banyak sudah diperbincangkan orang mengenai kriterianya misalnya :kecantkan kejelitaan , elegensi dan kehalusan tingkah laku. Sedangkan kelembutan mengandung unsur  kehalusan; selalu menyebar iklim psikis yang menyenangkan.  Sedangkan rendah hati adalah sifat kepribadian perempuan yang lebih sering di konfrontasikan  pada tuntutan  ciri-ciri  tersebut  daripada kaum laki-laki.



Kesimpulan
Psikologi klasik menggunakan paradigma androcentrism, yaitu suatu cara pandang dalam menjelaskan eksistensi perempuan berdasarkan norma laki-laki.
Menurut jalaluddin rahmat, perempuan digambarkan oleh psikologi androcentris sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan psikisnya untuk memelihara anak (kinder), memasak (kushe), dan beribadah (kireshe).
para ahli psikologi androcentris mengajukan teori tentang naluri keibuan(maternal instinctive) untuk konsep kinder, dan teori tugas keibuan (mothering mandate) untuk konsep kushe. Dengan teori-teori tersebut yang terus dipopulerkan, perempuan berada di kawasan domestik untuk mengasuh anak, memasak, dan beribadah melayani keluarga. Salah seorang ahli psikologi yang pandangannya sangat bias adalah sigmund freud dan dua orang muridnya,m eric erikson dan hellen deutsch.
Psikologi kontemporer mengacu pada paradigma psikologi feminis, yaitu suatu cara pandang memahami eksistensi perempuan berdasrkan norma perempuan. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk meruntuhkan pandangan yang telah terlanjur diyakini secara umum.
Penelitian yang dikembangkan oleh psikologi feminis selain menggunakan pendekatan bipolar dilakukan juga pendekatan dualistik. Dalam konsep dualistik, sifat feminin dna maskulin dipandang sebagai dua dimensi yang berbeda, tetapi kedua sifat tersebut dalam taraf tertentu dapat ditemukan pada satu individu. Sebagai contoh, psikolog jung membedakan prinsip animus untuk sifat laki-laki, dan anima untuk sifat perempuan.
Wanita pada hakikatnya mampu bekerja yang sama baiknya dengan kaum pria, hal ini dibuktikan pada masa-masa peang dunia pertama dan kedua, dalam betuk macam-macam pekerjaan  di front terdepan dan di garis belakang.
beberapa sifat khas perempuan yang banyak di tuntut dan disoroti oleh masyarakat luas adalah 1) keindahan 2) kelembutan dan 3) kerendahan hati
S Saran
Dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan tentang kesenjangan, ketidak adilan dan ketertindasan, diperlukan sebuah sudut pandang yang luas tidak hanya dalam satu sudut pandang. Dengan ini, Diharapkan akan mengakomodir semua hak-hak individu terpenuhi. Sehingga tidak ada yang di untungkan di satu pihak maupun pihak yang lain. Yang diuntungkan semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, kartini, 2006. psikologi wanita mengenal gadis remaja dan wanita dewasa. Mandar maju.
Nurhayati, eti. 2012. Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif.Yogyakarta.  Pustaka pelajar.
Barnhouse, ruth tiffany. 1992.Identitas wanita bagaimana mengenal dan membentuk citra diri. Yogyakarta. Kanisius.
Sebatu, alfons. 1994 Psikologi jung aspek wanita dalam keperibadian manusia.jakarta. gramedia.
Muthahhari, murtadha. 2000. Hak-hak wanita dalam islam. Bandung. Lentera. Gaarder, justin.2015. Dunia Sophie. Bandung. Mizan Media Utama.
Rahmat, jalaluddin. Dari psikologi androsentris ke psikologi feminis. Edisi khusus




[1] Perempuan adalah laki-laki yang belum lengkap”, ungkap Aristoteles, begitu ditulis Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Sophie
[2] Rahmat, jalaluddin, Dari psikologi androcentris ke psikologi feminis. Hal. 19
[3] Nurhayati, eti. Psikologi peempuan dalam berbagai perspektif. Hal  13
[4] Barnhous, ruth tiffany, identtas wanita, hal 57
[5] Sebatu, alfons. Psikologi jung aspek wanita dalam kepribadian manusia. Hal 7
[6] Kartono, kartini, psikologi wanita mengenal gadis remaja dan wanita dewasa hal 15









3 comments:

  1. BOLAVITASPORTS PREDIKSI SKOR TERPERCAYA DAN TERAKURAT

    JADWAL SABUNG TERLENGKAP agen adu ayam terbesar sejak 2014

    Dapatkan Bonus Spesial Ulang Tahun B-o-l-a-v-i-ta ke 6 !
    Event Promo Freechips Deposit s/d Rp 2.000.000,-
    Berlaku 10 Maret 2019 Pukul 12:00 - 19:00 WIB
    Yuk Gabung Bersama B-o-l-a-v-i-t-a Di Website www. b-o-l-a-v-i--ta .fun
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    BBM: B-O-L-A-V-I-T-A
    WA: +62-8-1-2-2-2-2-2-9-9-5

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?