Wednesday, June 6, 2018

peran tokoh NU sebagain opinion leader dalam mewujudkan konsolidasi umat


Sejarah telah mencatat bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun sehingga membuat masyarakat Islam merasa bangga dengan kejayaan yang pernah diraihnya, namun disisi lain kenyataannya umat Islam pernah mengalami kemunduran dan keterbelakangan Salah satu bukti bahwa Islam akan tetap berjaya adalah muncul dan berkembangnya Islam di Indonesia yang telah menjadi bukti sejarah bagi bangsa Indonesia dimana peranannya sangat besar terhadap perjuangan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia (Harun Nasution, 1992).
Negara Indonesia mempunyai penduduk mayoritas  muslim terbesar di dunia. Dalam kehidupan mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma) menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan satu paham keagamaan. Dalam konteks kehidupan bernegara menjadikan pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Perwujudan kesepakatan pancasila sebagai dasar Negara, dalam prosesnya melalui masa-masa kritis dan nyaris mengancam keretakan bangsa, tetapi perbedaan-perbedan tersebut mampu dipertemukan karena masing-masing unsur masyarakat mengutamakanpersatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai bukti dari penerimaan perbedaanperbedaan cara pandang dapat dilihat dari penerimaan pancasila sebagai ideologi Negara pancasila,sehingga sangat berpengaruh terhadap kebijakan dan kelangsungan nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut kelompok mayoritas tersebut (Harun Nasution, 1992).
Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan Orde Baru, tampaknya Islam diakui sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan Negara.Pendiskriminasian Islam tersebut memang sudah diawali pada saat wajah (ideologi) Indonesia akan ditentukan sehingga muncullah berbagai gerakangerakan dan pertentangan-pertentang Islam anti pemerintah akibat kekecewaan terhadap pembentukan Negara Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia (Posha,2015).

Islam Pasca Kemerdekaan (Pertentangan Ideologi)

Pada saat kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 terjadi pergolakan antara para kalangan yang ingin menentukan ideologi negara bangsa Indonesia. Pergolakan tersebut terbagi dalam dua kubu yaiu kalangan Muslim dan Nasionalis, dimana salah satu kubu ingin menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Islam namun hal tersebut mendapat tantangan dari kubu lain yang ingin menjadikan Negara Islam menjadi Negara Pancasila. Akibat dari munculnya pergolakan tersebut perkembangan Islam dari segi politik makin membesar disebabkan kekecewaan dari kalangan Islam yang ingin menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara khilafah Islam, dan kekecewaan itu memuncak ketika dideklarasikan Negara Indonesia sebagai Negara Pancasila (Posha,2015).
Beberapa konflik yang terjadi pada waktu itu umumnya merupakan gerakan belum membahayakan dan bermunculan partai-partai antara lain: Pertentangan diantara partai-partai (1950-1955) Pertarungan pada fase ini lebih tajam lagi ditandai dengan perpecahan diantara partai karena ketidakpuasan dan perbedaan pemahaman. Yaitu sejumlah anggota Masyumi yang dipimpin Wondoami Seno dan Aruzi Kartawinata memisahkan diri dengan mendirikan partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang lama agar dapat duduk dalam kabinet,pecahnya Partai Masyumi yang sosialis agama dengan kelompok konservatif, pada bulan April 1952 Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi sebagai partai politik yang dasarnya perebutan jabatan kementrian agama di kabinet dan bulan April 1955 PKI membuat persetujuan dengan PSII sebagai pencegahan pandangan masyarakat bahwa PKI anti agama (BJ. Boland, 1985: 46).
Sistem pendidikan Islam yang ada dan telah berkembang pada masa itu, sebagai salah satu bentuk dan usaha pelaksanaan syariat Islam, mendapatkan kesempatan dan jaminan untuk tetap berlangsung dan berkembang, serta mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah. Menurut ajaran Islam, pendidikan merupakan bagian hakiki dari tugas pengabdian (ibadah) dan kekhalifahan manusia terhadap Tuhan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab (Susanto, 2009).

Dinamika Islam Masa Orde Baru

Posisi politik Islam Indonesia semakin terdesak dimasa awal Orde Baru, Muhammad Natsir pernah mengungkapkan kegeramannya dengan mengatakan –seperti dikutip Ruth Mc Vey-
“They have treated us like cats with ring worm” Kalimat - yang secara harfiyah berarti “mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap”- ini terasa pedih. Bagaimanapun juga, Natsir, salah seorang tokoh demokrasi Indonesia dengan seketika menyerukan keteguhan Indonesia terhadap nilai-nilai demokrasi, dua minggu setelah Soekarno menyerukan
“demokrasi terpimpin”, adalah tokoh Indonesia yang turut melahirkan dan menyantuni “Islam politik” di negeri ini. Tekanan kuat rezim Orde Baru, memaksa kecenderungan gerak politik umat Islam, bergeser kearah yang relatif lebih netral, yakni kearah kebudayaan (Syamsudin,1983).
Sebagaimana yang disinyalir banyak pengamat umat Islam Indonesia “sedang bergerak dari minoritas politik ke mayoritas budaya”. Kebanyakan aspirasi umat, terutama dekade antara 1980-1990-an, tidak memandang aktiftas politik sebagai satu-satunya wadah perjuangan dalam rangka berkhidmat pada Islam dengan segala kandungan makna yang diyakini dan dihayati dalam kehidupannya. Gerakan Islam saat itu sedang bergerak ke arah spektrum baru yang lebih
dominan bersifat kebudayaan dari pada politik. “Islam sebagai gerakan kebudayaan” demikian menurut budayawan dan intelektual Islam, Dr. Kuntowijoyo, “dapat dirumuskan dalam tiga sub gerakan, yakni: gerakan intelektual, gerakan etik dan gerkan estetik. Gejala inilah yang nampaknya sering dipandang sebagai format baru gerakan Islam dalam penghadapannya dengan konteks kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam arti yang umum dan tentu saja dalam kurun waktu yang lebih mutakhir (Syamsudin,1983).
Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu kita bisa melihat berdasarkan sejumlah indikasi yang menunjukkan rentang sejarah umat Islam di tanah air, paling tidak ada beberapa karaktenstik yang menandai karakkter gerakan era 80-an. Pertama, semakin pudarnya kepemimpinan polittk Islam, dan bangkitnya kepemimpinan intelektual Muslim, terutama yang berbasis di berbagai kampus utama di Indonesia. kedua, kecenderungan semakin lemahnya kecondogan pada hal-hal yang bersifat furu’iyah dan tampak semakin menonjolnya isu-isu sosial, ekonomi, intelektual dan estetika dalam Islam. Ketiga; kecenderungan yang ditandai semakin melemahnya sikap-sikap sektarian dan semakin tumbuhnya sikap-sikap nonsektarian disebagian besar kalangan umat, terutama dikalangan generasi muda Islam. Keempat, kecenderungan memudarnya konsep umat yang dipahat bukan lagi sebagai komunitas Muslim yang diikat oleh organisasi massa Islam atau partai politik Islam yang eksklusif umat Islam dalam konteks ini, lebih dikonsepsikan sebagai komunitas Muslim yang kedudukan dan perannya tersebar luas dalam struktur sosial yang ada atau katakanlah muncul wajah Islam yang lebih inklusif (Donald K. Emmerson(1998).
Pada saat itu atau pada dasawarsa 80-an hingga berakhirnya era Orde Baru, terlihat gerakan Islam begitu sangat menarik. Dikatakan menarik karena memiliki landasan-landasan teologis yang kemudian berkembang menjadi diskursus gerakan yang berbeda dengan sebelumnya. Diskursus ini memunculkan praktek yang lain pula. Inilah yang oleh Donald K. Emmerson disebut sebagai diskursus Islam yang tengah menegaskan dimensi kulturalnya, jika bukan dimensinya yang sama sekali non-politis (Donald K. Emmerson(1998).
Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi kondisi di atas adalah perubahan struktural di dalam kehidupan poltik dan sosio-ekonomi sebagai akibat pembangunan yang dijalankan Orde Baru. Situasi ini menciptakan ketegangan idiologis antara Islam dengan Negara yang berbuntut kekalahan umat Islam sedikitnya dalam lima hal: konstitusi, pemilihan umum, fisik, birokrasi dan simbol. Selanjutnya, kekuatan politik formal Islam terkikis habis oleh kebijakan politik Orde Baru. (Donald K. Emmerson,1998).

Islam pasca Orde Baru

Bagaimana respon umat Islam terhadap pasca orde baru. Mark Woodward misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru. Pertama, Indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal, secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini pararel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya (Simorangkir,2015).
Kedua, kelompok tradisionil Nahdatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran sunni terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru dan murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari. Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhamadiyah, organisasi terbesar kedua setalah Nahdatul Ulama (NU). Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya dalam arus utamanya menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritarisme yang lebih menonjolkan “keAraban” (Simorangkir,2015).
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan syariah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagaimusuh Islam yang mereka defenisikan. Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berdasarkan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermenutika (Simorangkir,2015).
Runtuhnya Orde Baru, yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari defenisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu ketegori dari Woodward yaitu Indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca pemili pertama runtuhnya Orde Baru yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indoensia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, presiden prempuan dan partai politik baru. Meskipun berbeda kategori dengan kedua pendapat di atas, bahwa sejak jatuhnya orde baru di susul dengan era reformasi oleh beberapa pengamat dipandang sebagai situasi yang kondusif bagi munculnya partai-partai politik Islam dan gerakan Islam di Indonesia. Penulis mencoba melihat bagaimana kategori-kategori ini bermaindalam bidang politik maupun dalam gerakangerakan bernunasa Islam(Simorangkir,2015). 

Peran Tokoh NU dalam konsolidasi keummatan

Reformasi atau pasca kekuasaan Soeharto telah memberikan kesempatan selebar-lebarnya setiap keyakinan serta ideologi politik untuk berlomba-lomba mengisi ruang-ruang publik, selanjutnya di konsestasikan secara legal dan damai melalui pemilu. Tentunya terjadi pergulatan ideologis atau teologis tidak hanya antara kutub agamais dengan nasionalis, bahkan juga sesama kalangan Islam, saling mengklaim penafsiranya paling sesuai dengan ajaran Islam. Tentu pengulatan ini menjadi fenomena yang menarik untuk melakukan penelitian. Penelitian ini melihat dinamisasi Islam politik dan gerakan keagamaan lainnya pasca Soeharto. Apakah bertahan untuk memperjuang kan apirasinya politik bersifat formalis atau mengalami pergeseran nilai dari ideologis ke Islam substansi dengan mengakomodasi beberapa aspirasi umat Islam (Simorangkir,2015).
Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU). Paling tidak ada tiga alasan besar yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu Pertama, motif agama. Kedua, motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa ’l-Jamā’ah, dan ketiga, motif nasionalisme (Chairul anam,1996).
Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional kemerdekaan negara Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh penjajah Belanda. Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama NU yang berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada mekanik atau organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh ulama-ulama NU (bisa berupa asmā’, ḥizb, dhikir, ṣalawāt dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan sugesti yang kuat ini perjuanganpara ulama bisa menghantarkan ke sebuah kemerdekaan berkat rahmat Allah (Ahmad,1985).
Prinsip Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU menganjurkan untukn senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Merespon berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan   antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negativeglobalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatism, radikalisme, konflik ras dan agamayang mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, NU merasa perluuntuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini (Farih,2016).
Keberadaan ormas menjadi sangat penting sebagai komunikasi politik yang baik. Ormas NU mampu dijadikan sebagai ‘’opinion leader’’. Untuk melaksanakannya peran tersebut NU perlu mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama ,pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas poltik) pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua  mendayagunakan kelembagaan media sebagai ruang public alternative  yang dapat menjadi kekuatan potensial. Ketiga, membangun kemandirian masyarakat tentang apa yang harus dilakukan  untuk memungkinkan berlangsungnya fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan public dan kesetaraan warga negara dalam politik demokrasi yang di bangun. Tokoh NU yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Muaddab,2015).
Apatisme masyarakat terhadap politik secara stuktural merupakan bagian dari alienasi politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, political ideology,memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik di dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik. Masyarakat yang acuh tak acuh pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat di tempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa  pemilihan. Fakta ini terjadi mana kala NU hanya dimanfatakan menjadi pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik (Lane,1962).
Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam litelatur komunikasi tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influence atau tasyemakers untuk menyebut opinion leader. Kemudian istilah opinion leader menjadi lebih dekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akes media yang lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader -lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga secara tidak langsung opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat setempat. Mereka sangat dipercaya untuk dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat berbagai hal. Oleh sebab itu opinion leader sangat penting untuk dijadikan alat konsolidasi keumatan (Muaddab,2015).
Menurut Muaddab (2015) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa opinion leader harus memiliki berberapa kategori agar mampu menjalin komunkasi. Kategori-kategori tersebut dibagi menjadi 6 yaitu:

1. The Controlling Style

Yaitu bersifat mengendalikan dimana gaya mengendalikan ini dengan ditandai adanya satu kehendak untuk membatasi,memaksa atau mengatur baik perilaku,pikiran dan tanggapan komunikan. Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya,namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang diharapkan tanpa mendengar pemikiran dari komunikan.

2. The equalitarian style 

Gaya ini menggunakan kesamaan pikiran antara opinion leader  dan komuinikan.dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota  dapat mengkomunikasikan gagasan ataupunataupun pendapat dalam suasanan rileks, santai dan informal. Sehingga dalam kondisi seperti ini diharapkan mampu mencapai pengeertian bersama.

3. The Structuring style

Poin dari gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstruktur. Seorang opinion leader dalam gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara loisan maupun tulisan agar memantapkan intruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi.

4. The Relinquising Style 

Gaya komunikasi ini lebuh dikenal gaya yang agresif, artinya komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. 
5. The Dynamic Style  dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi ini.

6. The Withdrawal Style

Deskripsi dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok.



 
Gambar 1. Skema opinion leader NU (Muaddab,2015).

Kesimpulan

Negara Indonesia mempunyai penduduk mayoritas  muslim terbesar di dunia. Dalam kehidupan mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma) menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan satu paham keagamaan. Dalam mewujudkan konsolidasi keberadaan ormas menjadi sangat penting sebagai komunikasi politik yang baik. Ormas NU mampu dijadikan sebagai
‘’opinion leader’’. Karakteristik yang harus dimiliki opinion leader  ada 6 yaitu The Controlling Style, The equalitarian style , The Structuring style, The Relinquising Style , The Dynamic Style dan The Withdrawal Style.


Daftar pustaka 

Ahmad Mansur Suryanegara, A.P.E Korver.1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafiti.
Boland B.j. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970.Jakarta: Grafiti pers.
Choirul Anam.1998. Pertumbuhan Dan Perkembangan Nu(Surabaya: Bisma Satu Press
Farih Amin, 2016. Nahdlatul Ulama (Nu) Dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Nkri) Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 1 Harun. 1992. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Anda Utama.
Lane,R.E.1962. Political Ideology. Why the American  common Man Believes What He Does, Newyork.The Free press.
Muadab Hafis,2015. Nahdlatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam Politik Demokrasi Di
Indonesia. Jurnal Politika Vol 1 Nomor 1nasution,
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah

Syamsuddin, Din  1.993 .“Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”. Ulumul Qur’an, Vol.4, No.2, 


Posha, Beti Yanuri. 2015.Perkembangan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jurnal Historia Volume 3, Nomor 2,





1 comment:

  1. BOLAVITASPORTS PREDIKSI SKOR TERPERCAYA DAN TERAKURAT

    JADWAL SABUNG TERLENGKAP agen adu ayam terbesar sejak 2014

    Dapatkan Bonus Spesial Ulang Tahun B-o-l-a-v-i-ta ke 6 !
    Event Promo Freechips Deposit s/d Rp 2.000.000,-
    Berlaku 10 Maret 2019 Pukul 12:00 - 19:00 WIB
    Yuk Gabung Bersama B-o-l-a-v-i-t-a Di Website www. b-o-l-a-v-i--ta .fun
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    BBM: B-O-L-A-V-I-T-A
    WA: +62-8-1-2-2-2-2-2-9-9-5

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?