Wednesday, June 6, 2018

eksistensi perempuan perspektif psikologi perempuan

Wednesday, June 06, 2018 3 Comments


s    Sejak zaman dan sepanjang sejarah manusia, orang selalu ingin mengetahui teka-teki dan misteri yang ada pada diri perempuan. Khususnya, masalah ini yang sangat menarik bagi kaum pria. Sedang perempuan sendiri yang merupakan teka-teki ingin juga ikut memecahkannya dan berusaha memahami akunya sendiri via intropeksi terhadap psikologi fisik dan segala kemampuannya.
Banyak hal menarik yang ada pada diri seorang perempuan. Sehingga tidak heran jika banyak yang memberikan komentar dan berpendapat untuk menjelakan tentang kejiwaan seorang perempuan. Penjelasan tentang kejiwaan sorang perempuan bermacam-macam, ada yang bersifat mengagungkan sebagaimana penjelasan dalam islam bahwa perempuan adalah perhiasan, sebaik-baiknya perhiasan adalah perempuan shalihah. Ada juga yang merendahkan perempuan. Salah satunya adalah aristoteles[1], nietzsche, schopenhauer, dan beberapa kitab-kitab suci yahudi tentang wanita.
Perempuan harus dipandang sebagai manusia yang bermartabat supaya terlihat bagaimana kesempurnaan perempuan serta apa hak dan kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai entitas yang dapat menjadi aset bagi kemaslahatan masyarakat melalui proses pembinaan manusia-manusia luhur, supaya terlihat apa hak perempuan dan bagaimana kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai elemen dasar rumah tangga yang meskipun eksistensinya sama-sama dibentuk dan diperani oleh laki-laki dan perempuan tetapi ketenangan dan ketentramannya sangat bergantung pada peran dan bawaan alamiah perempuan. Perempuan harus dipotret dengan lensa demikian agar terlihat bagaimana perempuan dapat menemukan kesempurnaannya dan dimana hak-haknya berada.
Dalam diri perempuan terdapat berbagai petensi yang patut untuk digali dan diberdayakan bukan dibiarkan begitu saja bahkan menganggapnya seperti tidak penting. Potensi dalam diri perempuan akan merubah peradaban perempuan bahkan peradaban manusia. Salah seorang psikolog amerika serikat, william james memandang bahwa penemuan atas potensi manusia yang belum tergali sebagai penemuan terpenting di zamannya. James mengatakan :”saya yakin seyakinnya bahwa kebanyakan orang secara fisik, intelektual maupun secara moral hidup dalam potensi lingkaran yang sangat terbatas...” di balik keterbatasan perempuan tersimpan potensi-potensi besar yang patut untuk diberdayakan.


1.      Bagaimana Eksistensi perempuan menurut psikologi klasik ?
2.      Bagaimana Eksistensi perempuan menurut psikologi modern?
3.      Bagaimana Mesteri kepribadian perempuan dan beberapa sifat khasnya?






A.    Eksistensi perempuan menurut psikologi klasik
Psikologi klasik menggunakan paradigma androcentrism, yaitu suatu cara pandang dalam menjelaskan eksistensi perempuan berdasarkan norma laki-laki.
Betapa malangnya nasib perempuan karena mereka dipandang sebagai makhluk yang harus menyesuaikan dengan norma yang dibuat laki-laki. Jika tidak pas dengan selera laki-laki, perempuan dianggap tidak normal. Menurut jalaluddin rahmat, permpuang digambarkan oleh psikologi androcentris sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan psikisnya untuk memelihara anak(kinder), memasak(kushe), dan beribadah(kireshe).[2]
Untuk mempertahankan konsep yang misogonis dan memarginalkan perempuan, para ahli psikologi androcentris mengajukan teori tentang naluri keibuan(maternal instinctive) untuk konsep kinder, dan teori tugas keibuan (mothering mandate) untuk konsep kushe. Dengan teori-teori tersebut yang terus dipopulerkan, perempuan berada di kawasan domestik untuk mengasuh anak, memasak, dan beribadah melayani keluarga. Salah seorang ahli psikologi yang pandangannya sangat bias adalah sigmund freud dan dua orang muridnya,m eric erikson dan hellen deutsch. Pandangan psikologi freud sangat bias karena penelitian-penelitiannya hanya berdasarkan pada laki-laki sebagai subjekk penelitiannya. Freud tidak mengakomodasi pengalaman, visi, dan perspektif perempuan. Ia hanya menyusun pandangan yang sama untuk kedua jenis kelamin karena ia hidup tidak bergaul dengan perempuan, kecuali putrinya, anna. Freud sangat renggang hubungannya dengan isteri dan pasien-pasiennya yang perempuan, sehingga tidak memahami eksistensi perempuan yang sesungguhnya.
Erikson juga mempelajari perempuan, sehingga ia hanya berspekulasi menggambarkan keprbadian perempuan dengan cara membuat generalisasi dari kepribadian laki-laki dalam teorinya the eight stage of man, yaitu delapan tahap perkembangan manusia yang dipandang sama antara perempuan dan laki-laki. Padahal kenyataannya, perkembangan kepribadian perempuan tidak mutlak melewati tahapan-tahapan sebagaimana yang terjadi pada laki-laki.[3]
Helen deutsch, sekalipun ia seorang perempuan, tetapi sebagian besar pandangannya masih androcentris mengikuti gurunya. Ia memperkokoh citra perempuan seperti digambarkan freud. Menurutnya perempuan memilik karakteristik narcisisme, pasive, dan masochisme. Narcisisme adalah cinta dan kekaguman perempuan terhadap kecantikan dan keindahan tubuhnya sendiri denga cara menghias dan mempercantik diri. Pasive adalah kecenderungan perempuan untuk bersikap pasrah, menyenangkan, dan mengikuti selera laki-laki. Masochisme adalah kesediaan permpuan untuk menderita sakit dan menyerah pada kekerasan.
Banyak pandangan yang dikembangkan oleh psikologi klasik untuk mengukuhkan strereotype perempuan. Misalnya, jika perempuan tidak suka berhias dan bersolek atau bersikap menentang dan sangat aktif, mereka di pandang sakit dan mengidap kelainan psikis. Denan narcisisme, perempuan menjadi makhluk pemuas birahi laki-laki karena kecantikan, daya tarik, dan keanggunannya untuk dapat dijadikan respetif secara seksual dan lebih keibuan. Dengan pasivitas, perempuan menjadi korban kebebasan dan perlakuan sewenang-sewenang kaum laki-laki.
Para ahli psikologi klasik denga serta merta menciptakan variabilitas untuk menggambarkan inferioritas perempuan. Perempuan tidak perlu melibatkan diri dalam kegiatan ilmiah karean kecerdasannya lebih rendah, struktur otaknya kurang terspesialisasi, dan kepribadiannya lebih emosional dibandingkan laki-laki. Demikian pula dikembangkan pandangan bahwa kecerdasan laki-laki itu menyimpang dari rata-rata dibandingkan dengan perempuan, sehingga yang paling cerdas mesti laki-laki, sedangkan perempuan moderat saja. Perbedaan kecerdasan ini disebabkan tengkorak perempouan lebih kecil daripada tengkorak laki-laki, demikian pula otak, ukuran, dan kapasitasnya lebih dekat dengan otak gorila dari pada otak laki-laki yang paling maju.
Hipotesis tersebut di atas semakin meyakinkan pandangan psikologi klasik bahwa perempuan secara signifikan daya intelektualnya lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan kiprah perempuan di berbagai bidang kehidupan,sepertibidang sosial, ekonomim, hukum dan politik yang lebih rendah daripada kiprah laki-laki.
Sampai saat ini sejumlah pengetahuan yang dikembangkan oleh psikologi akademisi tampaknya mendukung kepercayaan stereotype tentang kemampuan dan karakteristik psikologi perempuan dan laik-laki. Kepercayaan seperti itu kebetulan mendukung ketimpangan yang ada di antara kedua jenis kelamin ini dalam bidang politik, hukum, dan ekonomi.
Padahal hipotesis yang terbukti secara kebetulan itu tidak dapat dijustifikasi secara ilmiah, karena tidak didukung oleh bukti empirik yang meyakinkan. Pantaslah freud dikritik pandangannya habis-habisan oleh adler dengan mengatakan, “semua lembaga kita, sikap tradisional kita, hukum kita, moral kita, adat kita, memberikan bukti bahwa semuanya dipertahankan oleh laki-laki yang mempunyai hak istimewa dan untuk kejayaan dominasi laki-laki.
Perempuan dalam pandangan psikologi modern
Psikologi kontemporer mengacu pada paradigma psikologi feminis, yaitu suatu cara pandang memahami eksistensi perempuan berdasrkan norma perempuan. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk meruntuhkan pandangan yang telah terlanjur diyakini secara umum.[4]
Suatu fakta biologis yang tidak dapat disangkal, perempuan dikodratkan untuk haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Suatu fungsi yang tidak dapat diambil alih oleh laik-laki. Fakta ini menimbulkan konsekuensi yang penting bagi kehidupan manusia. Manusia berbeda dengan makhluk lain, ia memilik kemampuan untuk menginternalisasi komposisi biologisnya sehingga terbentuklah kenyataan sosial baginya. Apa yang dipandang sebagai perilaku perempuan atau laki-laki, tergantung pada bagaimana fakta biologi itu diasosiakan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam tata hidup masyarakat tertentu. Jadi perbedaan perempuan dan laki-laki mencerminkan interaksi antara komposisi biologis dan pola kehidupan sosial.
Penelitian psikologi yang telah dilakukan beranggapan bahwa perbedaan antara sifat keperempuannan(fminity) dan sifat kelaki-lakian(masculinity) sangat erat hubungannya dengan perbedaan biologis antara perempuan dan liki-laki. Dengan demikian, perbedaan kedua sifat  itu diasumsikan sebagai dua kutub yang berbeda sehingga jika seseorang menunjukkaan tingakh laku yang tidak sesuai dengan norma perempuan atau laki-laki, dianggap mempunyai kelainan
Asumsi tersebut mestinya dilakukan untuk mengukur sifat perempuan dan laik-laki dengan menggunakan skala kontinum yang berbeda. Konsep ini disebut dengan konsep dua kutub (bipolar), tetapi para ahli psikologi kalsik menggunakan model skala kontinum dipandang sebagai gejala satu dimensi dan bukan gejala multidimensional.
Dengan model skala kontinum tunggal, perempuan tidak menjadi dirinya sendiri, mereka harus menyesuaikan diri terhadap norma laki-laki. Oleh karena laki-laki yang menjadi norma, psikologi klasik termasuk psikologi androcentris (serba dan berpusat pada laki-laki). Sedangkan dalam psikologi feminis, pendefinisian perempuan dengan perspektif perempuan (geneosentris).
Penelitian yang dikembangkan oleh psikologi feminis selain menggunakan pendekatan bipolar dilakukan juga pendekatan dualistik. Dalam konsep dualistik, sifat feminin dna maskulin dipandang sebagai dua dimensi yang berbeda, tetapi kedua sifat tersebut dalam taraf tertentu dapat ditemukan pada satu individu. Sebagai contoh, psikolog jung membedakan prinsip animus untuk sifat laki-laki, dan anima untuk sifat perempuan.
Demikian juga bakan menandang adanya dua prinsip agency dan communion yang menjadi ciri makhluk hidup. Kedua prinsip ini harus saling mengimbangi agar individu dapat mempertahankan hidup. Konsep dua prinsip ini kini mewarnai paradigma psikologi modern untuk menjelaskan eksistensi perempuan dan laki-laki.
Penelitian utnuk mengidentifikasi ciri-ciri dan sifat-sifat perempuan dalam psikologi umumnya dilakukan dengan mengukur sex role preference dan sex role adoption. Untuk mengukur sifat tersebut, menggunakan skala kontinum bipolar dan dualistik. Jika diasumsikan sifat perempuan dan laki-laki terletak pada dua dimensi yang berbeda, maka digunakan dua skala kontinum yang berbeda. Denga model penelitian bipolar dan dualistik yang dikembangkan oleh psikologi feminis, posisi perempuan menjadi equel dan humanis.
Dalam memahami fakta biologis, eksistensi perempuan dan laki-laki dianalisis menggunakan pendekatan bipolar. Fakta biologis menunjukkan perempuan secara kodarati dapat haid, hamil, melahirkan, dan menyusui, sedangkan laki-laki secara kodrati dapat membuahi sel telur perempuan, sesuai dengan potensi organ dan reproduksi yang dimiliki masing-masing yang berkonsekuensi pada fungsi reproduksi yang berbeda. Perbedaan fakta biologis ini tidak mengindikasikan yang satu lebih unggul atas yang lain, tetapi untuk menunjukkan bahwa fungsi-fungsi yang terdapat pada masing-masingpotensi tidak akan terjadi tanpa ikatan ketergantungan, dan saling melengkapi. Dengan kata lain, fungsi reproduksi hanya terjadi karena ada perbedaan potensireproduksi yang dimiki oleh perempuan dan laik-laki, dan juga fungsi reproduksi tidak akan terjadi  oleh dirinya sendiri, tanpa saling ketergantungan dan kelengkapan dari lain jenis.
Dalam memahami sifat feminin dan maskulin, psikologi feminis menggunakan pendekatan dualistik, karena kedua sifat itu dapt ditemukan ada pada satu individu. Oleh karen itu, pelabelan(stereotype) sifat perempuan sebagai inferior, lemah lembut, emkosional, lebih rendah intelektualnya adalah keliru karena tidak didukung oleh metodologi  penelitian yang tepat dan bukti empirik yang kuat. Stereotype yang muncul dari ideologi patriarkhisme dan statusquo yang ingin mempertahankan superioritas laki-laki. Toeri-teori psikologi androcentris hanya dikembangkan berdasrkan fantasi laki-laki yang diproyeksikan kepada perempuan.
Posisi perempuan yang kurang kuat di masyarakat itulah yang mempengaruhi perilakunya, karena ia harus menyesuaikan dengan keinginan laki-laki yang berkuasa. Perilaku perempuan merupakan saut reaksi untuk memprotes hak istimewa dan keskuasaan laki-laki. Narcisisme, masochisme, dan pasivitas hanyalah topeng yang dipakakan laki-laki kepad perempuan. Lahirnya psikologi fmeinis merupakan kritik terhadap kekuatan sosial yang memaksa perempuan hanya berperan sebagai ibu dan memilik tugas keibuan. Ideologi ibuisme hanya menciptakan sebuah budaya patriarkhi yang dibalut dengan bingkai penghormatan agar tampak lebih etis secara budaya.[5]
Dahulu pengasuhan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ibu. Pandangan lama menganggap sosialisasi merupakan bentukan orang tua, guru dan masyarakat. Kini banyak pandangna yang meyakinkan bahwa keibuan adalah sikap yangdpat diberikan oleh siapa pun selain ibunya sendiri. Pandangan baru mengatakan  bahwa muali awal bayi itu aktif, sehingga tugas ibu bukan menciptkan sesuatu dari ketiadaan, tetapi menyesuaikan perilakunya dengan kepentingan anak, mana yang penting mendapat perilaku keibuan sehingga perilaku keibuan dapat pula dilakuakn oleh orang selain ibunya. Permpuan menjadi berkepribadian keibuan karena proses belajar, latihan dan pengalaman, bukan potensi yang dibawa sejak lahir. Menurut Chodow, “tidak semua perempuan menjadi ibu atau berjiwa keibuan, banyak pula laki-laki yang mempunyai sifat keibuan karena belajar”. Menurut parwati soepangat, “para bapak perlu dilibatkan dalam pengasuhan anak untuk memberikan variasi stimulus agar potensi anak berkembang secara optimal dan memiliki iktan emosional dengan bapaknya”.
Pendapat Chodorow dan soepangat tersebut menolak teori bahwa secara biologi perempuan mempunyai naluri keibuan. Sseseorang dapat cakap dalam peran keibuan hanya karean belajar, maka laki-laki pun sangat munkin mempunya kecakapan tersebut, sehingga pengasuhan anak tidak hanya tergantung kepada ibunya. Oleh karena itu, perempuan bukanlah satu-satunya agen yang bertugas mendidik dan membesarkan anak.
Dengan uraian tersebut jelas kebudayaan melalui stereotype telah membentuk perempuan menjadi pasif, masokis dan penurut. Konteks sosial inilah yang sering dilupakan para ahli psikologi klasik dlaam memahami eksistensi perempuan. Jadi perilaku perempuan ditentukan secara biologis, dan bukan pula mengidap kelainan psikis tetapi karena budaya telah melabelkan perilaku yang banyak merugikan perempuan. Bukankah kalau biaya pendidikan terbatas, maka anak laki-laki yang diprioritaskan  daripada anak perempuan?
Banyak peristiwa dalam kehidupan keseharian yang menyudutkan kaum perempuan. Misalnya, perempuan dipandang memiliki sifat emosional, cengeng, dan mudah menangis. Jika ditelusuri dari akar penyebab perempuan itu suka menangis, tampaknya karena norma sosial membiarkan perempuan menangis dan sebalinya mengecam laki-laki yang menangis.
Adapun hujatan psikologi androcentrisme mengenai kecerdasan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki mendapat jawaban dari psikologi feminis berdasarkan hasil penelitian wolley terhadpa sejumlah mahasiswa perempuan dan laki-laki dalam kemampuan indrawi dan motorisnya. Ia menemukan, persamaan kemampuan intelektual perempuan dan laki-laki lebih besar dari pada perbedaannya.
Penelitian-penelitian di bidnag psikologi terus dilakukan, dan tidak lama kemudian dilaporkan bahwa bagian otak yang ada hubungannya dengan intelek adalah parietal lobes. Berdaskan hasil temuan penelitian terhadap struktur otak, menunjukkan bahwa perempuan justru lebih intelek dari pada laki-laki.
Kendatipuanimun telah jauh menemukan berbagai bukti dari bebrapa hasil penelitian tentang struktur otak manusia, namun psikologi androcentrisme tetap mempertahankan pandangan yang misoginiis dengan cara mengalihkan pendapatnya bahwa kecerdasan permpuan tidak hanya dihubungkan dengan struktur otaknya, tetapi harus dihubungkan dengan mekanisme hormonalnya, di mana fungsi kesadaran perempuan akan mengalami gangguan saat datangnya haid.
Mesteri tentang pribadi perempuan dan beberapa sifat khasnya
Wanita pada hakikatnya mampu bekerja yang sama baiknya dengan kaum pria, hal ini dibuktikan pada masa-masa peang dunia pertama dan kedua, dalam betuk macam-macam pekerjaan  di front terdepan dan di garis belakang. Namun cara kerjanya kaum perempuan ternyata berbeda dengan cara bekerja nya kaum laki-laki yaitu kha keperempuannya.
Selanjtnya beberapa sifat khasnya yang banyak di tuntut dan disoroti oleh masyarakat luas adalah 1) keindahan 2) kelembutan dan 3) kerendahan hati.[6]
Mengenai keindahan  banyak sudah diperbincangkan orang mengenai kriterianya misalnya :kecantkan kejelitaan , elegensi dan kehalusan tingkah laku. Sedangkan kelembutan mengandung unsur  kehalusan; selalu menyebar iklim psikis yang menyenangkan.  Sedangkan rendah hati adalah sifat kepribadian perempuan yang lebih sering di konfrontasikan  pada tuntutan  ciri-ciri  tersebut  daripada kaum laki-laki.



Kesimpulan
Psikologi klasik menggunakan paradigma androcentrism, yaitu suatu cara pandang dalam menjelaskan eksistensi perempuan berdasarkan norma laki-laki.
Menurut jalaluddin rahmat, perempuan digambarkan oleh psikologi androcentris sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan psikisnya untuk memelihara anak (kinder), memasak (kushe), dan beribadah (kireshe).
para ahli psikologi androcentris mengajukan teori tentang naluri keibuan(maternal instinctive) untuk konsep kinder, dan teori tugas keibuan (mothering mandate) untuk konsep kushe. Dengan teori-teori tersebut yang terus dipopulerkan, perempuan berada di kawasan domestik untuk mengasuh anak, memasak, dan beribadah melayani keluarga. Salah seorang ahli psikologi yang pandangannya sangat bias adalah sigmund freud dan dua orang muridnya,m eric erikson dan hellen deutsch.
Psikologi kontemporer mengacu pada paradigma psikologi feminis, yaitu suatu cara pandang memahami eksistensi perempuan berdasrkan norma perempuan. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk meruntuhkan pandangan yang telah terlanjur diyakini secara umum.
Penelitian yang dikembangkan oleh psikologi feminis selain menggunakan pendekatan bipolar dilakukan juga pendekatan dualistik. Dalam konsep dualistik, sifat feminin dna maskulin dipandang sebagai dua dimensi yang berbeda, tetapi kedua sifat tersebut dalam taraf tertentu dapat ditemukan pada satu individu. Sebagai contoh, psikolog jung membedakan prinsip animus untuk sifat laki-laki, dan anima untuk sifat perempuan.
Wanita pada hakikatnya mampu bekerja yang sama baiknya dengan kaum pria, hal ini dibuktikan pada masa-masa peang dunia pertama dan kedua, dalam betuk macam-macam pekerjaan  di front terdepan dan di garis belakang.
beberapa sifat khas perempuan yang banyak di tuntut dan disoroti oleh masyarakat luas adalah 1) keindahan 2) kelembutan dan 3) kerendahan hati
S Saran
Dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan tentang kesenjangan, ketidak adilan dan ketertindasan, diperlukan sebuah sudut pandang yang luas tidak hanya dalam satu sudut pandang. Dengan ini, Diharapkan akan mengakomodir semua hak-hak individu terpenuhi. Sehingga tidak ada yang di untungkan di satu pihak maupun pihak yang lain. Yang diuntungkan semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, kartini, 2006. psikologi wanita mengenal gadis remaja dan wanita dewasa. Mandar maju.
Nurhayati, eti. 2012. Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif.Yogyakarta.  Pustaka pelajar.
Barnhouse, ruth tiffany. 1992.Identitas wanita bagaimana mengenal dan membentuk citra diri. Yogyakarta. Kanisius.
Sebatu, alfons. 1994 Psikologi jung aspek wanita dalam keperibadian manusia.jakarta. gramedia.
Muthahhari, murtadha. 2000. Hak-hak wanita dalam islam. Bandung. Lentera. Gaarder, justin.2015. Dunia Sophie. Bandung. Mizan Media Utama.
Rahmat, jalaluddin. Dari psikologi androsentris ke psikologi feminis. Edisi khusus




[1] Perempuan adalah laki-laki yang belum lengkap”, ungkap Aristoteles, begitu ditulis Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Sophie
[2] Rahmat, jalaluddin, Dari psikologi androcentris ke psikologi feminis. Hal. 19
[3] Nurhayati, eti. Psikologi peempuan dalam berbagai perspektif. Hal  13
[4] Barnhous, ruth tiffany, identtas wanita, hal 57
[5] Sebatu, alfons. Psikologi jung aspek wanita dalam kepribadian manusia. Hal 7
[6] Kartono, kartini, psikologi wanita mengenal gadis remaja dan wanita dewasa hal 15









peran tokoh NU sebagain opinion leader dalam mewujudkan konsolidasi umat

Wednesday, June 06, 2018 1 Comments

Sejarah telah mencatat bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun sehingga membuat masyarakat Islam merasa bangga dengan kejayaan yang pernah diraihnya, namun disisi lain kenyataannya umat Islam pernah mengalami kemunduran dan keterbelakangan Salah satu bukti bahwa Islam akan tetap berjaya adalah muncul dan berkembangnya Islam di Indonesia yang telah menjadi bukti sejarah bagi bangsa Indonesia dimana peranannya sangat besar terhadap perjuangan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia (Harun Nasution, 1992).
Negara Indonesia mempunyai penduduk mayoritas  muslim terbesar di dunia. Dalam kehidupan mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma) menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan satu paham keagamaan. Dalam konteks kehidupan bernegara menjadikan pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Perwujudan kesepakatan pancasila sebagai dasar Negara, dalam prosesnya melalui masa-masa kritis dan nyaris mengancam keretakan bangsa, tetapi perbedaan-perbedan tersebut mampu dipertemukan karena masing-masing unsur masyarakat mengutamakanpersatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai bukti dari penerimaan perbedaanperbedaan cara pandang dapat dilihat dari penerimaan pancasila sebagai ideologi Negara pancasila,sehingga sangat berpengaruh terhadap kebijakan dan kelangsungan nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut kelompok mayoritas tersebut (Harun Nasution, 1992).
Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan Orde Baru, tampaknya Islam diakui sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan Negara.Pendiskriminasian Islam tersebut memang sudah diawali pada saat wajah (ideologi) Indonesia akan ditentukan sehingga muncullah berbagai gerakangerakan dan pertentangan-pertentang Islam anti pemerintah akibat kekecewaan terhadap pembentukan Negara Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia (Posha,2015).

Islam Pasca Kemerdekaan (Pertentangan Ideologi)

Pada saat kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 terjadi pergolakan antara para kalangan yang ingin menentukan ideologi negara bangsa Indonesia. Pergolakan tersebut terbagi dalam dua kubu yaiu kalangan Muslim dan Nasionalis, dimana salah satu kubu ingin menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Islam namun hal tersebut mendapat tantangan dari kubu lain yang ingin menjadikan Negara Islam menjadi Negara Pancasila. Akibat dari munculnya pergolakan tersebut perkembangan Islam dari segi politik makin membesar disebabkan kekecewaan dari kalangan Islam yang ingin menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara khilafah Islam, dan kekecewaan itu memuncak ketika dideklarasikan Negara Indonesia sebagai Negara Pancasila (Posha,2015).
Beberapa konflik yang terjadi pada waktu itu umumnya merupakan gerakan belum membahayakan dan bermunculan partai-partai antara lain: Pertentangan diantara partai-partai (1950-1955) Pertarungan pada fase ini lebih tajam lagi ditandai dengan perpecahan diantara partai karena ketidakpuasan dan perbedaan pemahaman. Yaitu sejumlah anggota Masyumi yang dipimpin Wondoami Seno dan Aruzi Kartawinata memisahkan diri dengan mendirikan partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang lama agar dapat duduk dalam kabinet,pecahnya Partai Masyumi yang sosialis agama dengan kelompok konservatif, pada bulan April 1952 Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi sebagai partai politik yang dasarnya perebutan jabatan kementrian agama di kabinet dan bulan April 1955 PKI membuat persetujuan dengan PSII sebagai pencegahan pandangan masyarakat bahwa PKI anti agama (BJ. Boland, 1985: 46).
Sistem pendidikan Islam yang ada dan telah berkembang pada masa itu, sebagai salah satu bentuk dan usaha pelaksanaan syariat Islam, mendapatkan kesempatan dan jaminan untuk tetap berlangsung dan berkembang, serta mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah. Menurut ajaran Islam, pendidikan merupakan bagian hakiki dari tugas pengabdian (ibadah) dan kekhalifahan manusia terhadap Tuhan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab (Susanto, 2009).

Dinamika Islam Masa Orde Baru

Posisi politik Islam Indonesia semakin terdesak dimasa awal Orde Baru, Muhammad Natsir pernah mengungkapkan kegeramannya dengan mengatakan –seperti dikutip Ruth Mc Vey-
“They have treated us like cats with ring worm” Kalimat - yang secara harfiyah berarti “mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap”- ini terasa pedih. Bagaimanapun juga, Natsir, salah seorang tokoh demokrasi Indonesia dengan seketika menyerukan keteguhan Indonesia terhadap nilai-nilai demokrasi, dua minggu setelah Soekarno menyerukan
“demokrasi terpimpin”, adalah tokoh Indonesia yang turut melahirkan dan menyantuni “Islam politik” di negeri ini. Tekanan kuat rezim Orde Baru, memaksa kecenderungan gerak politik umat Islam, bergeser kearah yang relatif lebih netral, yakni kearah kebudayaan (Syamsudin,1983).
Sebagaimana yang disinyalir banyak pengamat umat Islam Indonesia “sedang bergerak dari minoritas politik ke mayoritas budaya”. Kebanyakan aspirasi umat, terutama dekade antara 1980-1990-an, tidak memandang aktiftas politik sebagai satu-satunya wadah perjuangan dalam rangka berkhidmat pada Islam dengan segala kandungan makna yang diyakini dan dihayati dalam kehidupannya. Gerakan Islam saat itu sedang bergerak ke arah spektrum baru yang lebih
dominan bersifat kebudayaan dari pada politik. “Islam sebagai gerakan kebudayaan” demikian menurut budayawan dan intelektual Islam, Dr. Kuntowijoyo, “dapat dirumuskan dalam tiga sub gerakan, yakni: gerakan intelektual, gerakan etik dan gerkan estetik. Gejala inilah yang nampaknya sering dipandang sebagai format baru gerakan Islam dalam penghadapannya dengan konteks kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam arti yang umum dan tentu saja dalam kurun waktu yang lebih mutakhir (Syamsudin,1983).
Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu kita bisa melihat berdasarkan sejumlah indikasi yang menunjukkan rentang sejarah umat Islam di tanah air, paling tidak ada beberapa karaktenstik yang menandai karakkter gerakan era 80-an. Pertama, semakin pudarnya kepemimpinan polittk Islam, dan bangkitnya kepemimpinan intelektual Muslim, terutama yang berbasis di berbagai kampus utama di Indonesia. kedua, kecenderungan semakin lemahnya kecondogan pada hal-hal yang bersifat furu’iyah dan tampak semakin menonjolnya isu-isu sosial, ekonomi, intelektual dan estetika dalam Islam. Ketiga; kecenderungan yang ditandai semakin melemahnya sikap-sikap sektarian dan semakin tumbuhnya sikap-sikap nonsektarian disebagian besar kalangan umat, terutama dikalangan generasi muda Islam. Keempat, kecenderungan memudarnya konsep umat yang dipahat bukan lagi sebagai komunitas Muslim yang diikat oleh organisasi massa Islam atau partai politik Islam yang eksklusif umat Islam dalam konteks ini, lebih dikonsepsikan sebagai komunitas Muslim yang kedudukan dan perannya tersebar luas dalam struktur sosial yang ada atau katakanlah muncul wajah Islam yang lebih inklusif (Donald K. Emmerson(1998).
Pada saat itu atau pada dasawarsa 80-an hingga berakhirnya era Orde Baru, terlihat gerakan Islam begitu sangat menarik. Dikatakan menarik karena memiliki landasan-landasan teologis yang kemudian berkembang menjadi diskursus gerakan yang berbeda dengan sebelumnya. Diskursus ini memunculkan praktek yang lain pula. Inilah yang oleh Donald K. Emmerson disebut sebagai diskursus Islam yang tengah menegaskan dimensi kulturalnya, jika bukan dimensinya yang sama sekali non-politis (Donald K. Emmerson(1998).
Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi kondisi di atas adalah perubahan struktural di dalam kehidupan poltik dan sosio-ekonomi sebagai akibat pembangunan yang dijalankan Orde Baru. Situasi ini menciptakan ketegangan idiologis antara Islam dengan Negara yang berbuntut kekalahan umat Islam sedikitnya dalam lima hal: konstitusi, pemilihan umum, fisik, birokrasi dan simbol. Selanjutnya, kekuatan politik formal Islam terkikis habis oleh kebijakan politik Orde Baru. (Donald K. Emmerson,1998).

Islam pasca Orde Baru

Bagaimana respon umat Islam terhadap pasca orde baru. Mark Woodward misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru. Pertama, Indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal, secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini pararel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya (Simorangkir,2015).
Kedua, kelompok tradisionil Nahdatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran sunni terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru dan murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari. Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhamadiyah, organisasi terbesar kedua setalah Nahdatul Ulama (NU). Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya dalam arus utamanya menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritarisme yang lebih menonjolkan “keAraban” (Simorangkir,2015).
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan syariah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagaimusuh Islam yang mereka defenisikan. Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berdasarkan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermenutika (Simorangkir,2015).
Runtuhnya Orde Baru, yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari defenisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu ketegori dari Woodward yaitu Indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca pemili pertama runtuhnya Orde Baru yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indoensia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, presiden prempuan dan partai politik baru. Meskipun berbeda kategori dengan kedua pendapat di atas, bahwa sejak jatuhnya orde baru di susul dengan era reformasi oleh beberapa pengamat dipandang sebagai situasi yang kondusif bagi munculnya partai-partai politik Islam dan gerakan Islam di Indonesia. Penulis mencoba melihat bagaimana kategori-kategori ini bermaindalam bidang politik maupun dalam gerakangerakan bernunasa Islam(Simorangkir,2015). 

Peran Tokoh NU dalam konsolidasi keummatan

Reformasi atau pasca kekuasaan Soeharto telah memberikan kesempatan selebar-lebarnya setiap keyakinan serta ideologi politik untuk berlomba-lomba mengisi ruang-ruang publik, selanjutnya di konsestasikan secara legal dan damai melalui pemilu. Tentunya terjadi pergulatan ideologis atau teologis tidak hanya antara kutub agamais dengan nasionalis, bahkan juga sesama kalangan Islam, saling mengklaim penafsiranya paling sesuai dengan ajaran Islam. Tentu pengulatan ini menjadi fenomena yang menarik untuk melakukan penelitian. Penelitian ini melihat dinamisasi Islam politik dan gerakan keagamaan lainnya pasca Soeharto. Apakah bertahan untuk memperjuang kan apirasinya politik bersifat formalis atau mengalami pergeseran nilai dari ideologis ke Islam substansi dengan mengakomodasi beberapa aspirasi umat Islam (Simorangkir,2015).
Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU). Paling tidak ada tiga alasan besar yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu Pertama, motif agama. Kedua, motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa ’l-Jamā’ah, dan ketiga, motif nasionalisme (Chairul anam,1996).
Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional kemerdekaan negara Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh penjajah Belanda. Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama NU yang berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada mekanik atau organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh ulama-ulama NU (bisa berupa asmā’, ḥizb, dhikir, ṣalawāt dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan sugesti yang kuat ini perjuanganpara ulama bisa menghantarkan ke sebuah kemerdekaan berkat rahmat Allah (Ahmad,1985).
Prinsip Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU menganjurkan untukn senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Merespon berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan   antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negativeglobalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatism, radikalisme, konflik ras dan agamayang mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, NU merasa perluuntuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini (Farih,2016).
Keberadaan ormas menjadi sangat penting sebagai komunikasi politik yang baik. Ormas NU mampu dijadikan sebagai ‘’opinion leader’’. Untuk melaksanakannya peran tersebut NU perlu mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama ,pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas poltik) pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua  mendayagunakan kelembagaan media sebagai ruang public alternative  yang dapat menjadi kekuatan potensial. Ketiga, membangun kemandirian masyarakat tentang apa yang harus dilakukan  untuk memungkinkan berlangsungnya fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan public dan kesetaraan warga negara dalam politik demokrasi yang di bangun. Tokoh NU yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Muaddab,2015).
Apatisme masyarakat terhadap politik secara stuktural merupakan bagian dari alienasi politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, political ideology,memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik di dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik. Masyarakat yang acuh tak acuh pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat di tempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa  pemilihan. Fakta ini terjadi mana kala NU hanya dimanfatakan menjadi pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik (Lane,1962).
Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam litelatur komunikasi tahun 1950-1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influence atau tasyemakers untuk menyebut opinion leader. Kemudian istilah opinion leader menjadi lebih dekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akes media yang lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader -lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga secara tidak langsung opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat setempat. Mereka sangat dipercaya untuk dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat berbagai hal. Oleh sebab itu opinion leader sangat penting untuk dijadikan alat konsolidasi keumatan (Muaddab,2015).
Menurut Muaddab (2015) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa opinion leader harus memiliki berberapa kategori agar mampu menjalin komunkasi. Kategori-kategori tersebut dibagi menjadi 6 yaitu:

1. The Controlling Style

Yaitu bersifat mengendalikan dimana gaya mengendalikan ini dengan ditandai adanya satu kehendak untuk membatasi,memaksa atau mengatur baik perilaku,pikiran dan tanggapan komunikan. Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya,namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang diharapkan tanpa mendengar pemikiran dari komunikan.

2. The equalitarian style 

Gaya ini menggunakan kesamaan pikiran antara opinion leader  dan komuinikan.dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota  dapat mengkomunikasikan gagasan ataupunataupun pendapat dalam suasanan rileks, santai dan informal. Sehingga dalam kondisi seperti ini diharapkan mampu mencapai pengeertian bersama.

3. The Structuring style

Poin dari gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstruktur. Seorang opinion leader dalam gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara loisan maupun tulisan agar memantapkan intruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi.

4. The Relinquising Style 

Gaya komunikasi ini lebuh dikenal gaya yang agresif, artinya komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. 
5. The Dynamic Style  dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi ini.

6. The Withdrawal Style

Deskripsi dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok.



 
Gambar 1. Skema opinion leader NU (Muaddab,2015).

Kesimpulan

Negara Indonesia mempunyai penduduk mayoritas  muslim terbesar di dunia. Dalam kehidupan mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma) menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan satu paham keagamaan. Dalam mewujudkan konsolidasi keberadaan ormas menjadi sangat penting sebagai komunikasi politik yang baik. Ormas NU mampu dijadikan sebagai
‘’opinion leader’’. Karakteristik yang harus dimiliki opinion leader  ada 6 yaitu The Controlling Style, The equalitarian style , The Structuring style, The Relinquising Style , The Dynamic Style dan The Withdrawal Style.


Daftar pustaka 

Ahmad Mansur Suryanegara, A.P.E Korver.1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafiti.
Boland B.j. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970.Jakarta: Grafiti pers.
Choirul Anam.1998. Pertumbuhan Dan Perkembangan Nu(Surabaya: Bisma Satu Press
Farih Amin, 2016. Nahdlatul Ulama (Nu) Dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Nkri) Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 1 Harun. 1992. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Anda Utama.
Lane,R.E.1962. Political Ideology. Why the American  common Man Believes What He Does, Newyork.The Free press.
Muadab Hafis,2015. Nahdlatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam Politik Demokrasi Di
Indonesia. Jurnal Politika Vol 1 Nomor 1nasution,
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah

Syamsuddin, Din  1.993 .“Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”. Ulumul Qur’an, Vol.4, No.2, 


Posha, Beti Yanuri. 2015.Perkembangan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jurnal Historia Volume 3, Nomor 2,





Monday, June 4, 2018

cara jitu menghadapi pacar yang gila belanja

Monday, June 04, 2018 1 Comments



Di era millennium ini , budaya berpacaran sudah tidak asing lagi bagi kalangan muda mudi. Dalam perjalanan selama berpacaran sering kali kita mengalami berbagai permasalahan. Salah satu diantaranya yaitu masalah pacar yang punya hobby gila belanja. Ada berbagai cara atau tips untuk menghadapi pacar yang gila belanja. Simak tipsnya di bawah ini :
1.      Budayakan membaca buku bersama pacar
Dalam hal pacaran kita pasti sering yang namanya melakukan hal bersama. Kebersamaan tersebut marilah kita buat lebih pisitif seperti meluangkan waktu membaca buku bersama. Tentunya buku-buku yang dibaca harulslah yang berwawasan membangun. Hal tersebut pasti akan membantu membuka wawasan pacar kita lebih luas sehingga dia akan menyampingkan soal belanja. Budaya membaca yang kita bangun bersama pacar pastinya akan berdampak sangat besar karena kita tahu bahwa pacar adalah orang terdekat dan paling dipercaya. Maka sering-seringlah ajak pacarmu membaca J
2.      Budayakan diskusi fenomena sosial 
Selain membaca buku tentunya kita perlu mendiskusikan tentang apa yang kita ketahui dari hasil kita membaca. Jadi kalian bisa saling menyemangati dengan cara meriview hasil bacaan buku sebagai landasan untuk memandang fenomena sosial. Bisa dipastikan gaya berpacaran kalian akan jauh lebih menantang dan menarik. Setiap bertemu tak hanya lagi membicarakan gombalan-gombalan tapi lebih membangun masing-masing personal. Pastinya kalian ingin punya pacar yang cerdas karena pacar merupakan gambaran masa depan kita. Membudayakan berdiskusi fenomena sosial akan lebih membuka lagi wawasan-wawasan sosial pacar kita sehingga dia akan lebih peka terhadap persoalan sosial bersama ketimbang memikirkan soal dirinya sendiri dalam hal ini belanja.
3.      Membuat propject bersama pacar
Setelah kita membudayakan membaca dan berdiskusi maka selanjutkan kita melakukan aksi dengan cara seperti membuat project. Pembuatan project ini lebih kearah sosial seperti project mengajar anak-anak jalanan, atau mungkin bisa dengan membuat seperti kelompok diskusi dengan melibatkan orang lain. Project  sosial inu juga akan melatih kekompakan kita bersama pacar. Kekompakan tersebut akan mempererat hubungan kalian sehingga pastinya kalian akan menjadi pasangan yang menginspirasi temen-temen  terdekat kalian. Project ini juga akan mengalihkan pemikiran pacar kita soal belanja sehingga dia akan lebih memilih membuat project-project selanjutnya yang lebih bermanfaat ketimbang belanja.
4.      Merencanakan masa depan
Selain tiga tips diatas kalian juga perlu merencanakan masa depan bersama pacar. Recana masa depan ini bisa seperti mulai menabung demi masa depan. Menabung akan membuat pacar kalian berpikir berulang kali untuk belanja karena pastinya dia akan lebih memikirkan masa depannya daripada belanja yang hanya kesenangan sesaat. Ketika kalian sudah menjalankan ketiga tips diatas dijamin dalam proses merencanakan masa depan akan jauh lebih mudah karena pacar kita wawasannya sudah terbuka serta lebih terfokus dalam memikirkan masa depan.

Tips-tips diatas mungkin akan terasa berat dilakukan tapi mencobalah berpikir bahwa berpacaran merupakan gambaran masa depan kalian. Berpacaran yang lebih membangun karakter pacar untuk menjadi lebih baik pastinya tidak akan merugikan karena kalian bisa belajar bersama-sama dengan pacar. Tumbuh bersama dengan budaya yang baik akan menghantarkan kalian ke masa depan yang lebih baik. Percayalah berpacaran bukan soal keterikatan antara perempuan dan laki-laki tapi lebih bagaimana kita bisa saling memahami bersama dan saling tumbuh bersama menjadi pribadi yang layak untuk dipilih di amsa depan.