Sejarah telah mencatat bahwa Islam telah berjaya dan
mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun sehingga
membuat masyarakat Islam merasa bangga dengan kejayaan yang pernah diraihnya,
namun disisi lain kenyataannya umat Islam pernah mengalami kemunduran dan
keterbelakangan Salah satu bukti bahwa Islam akan tetap berjaya adalah muncul
dan berkembangnya Islam di Indonesia yang telah menjadi bukti sejarah bagi
bangsa Indonesia dimana peranannya sangat besar terhadap perjuangan kemerdekaan
bagi bangsa Indonesia (Harun Nasution, 1992).
Negara Indonesia mempunyai penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Dalam kehidupan
mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma)
menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan
satu paham keagamaan. Dalam konteks kehidupan bernegara menjadikan pancasila
sebagai dasar Negara Indonesia. Perwujudan kesepakatan pancasila sebagai dasar
Negara, dalam prosesnya melalui masa-masa kritis dan nyaris mengancam keretakan
bangsa, tetapi perbedaan-perbedan tersebut mampu dipertemukan karena
masing-masing unsur masyarakat mengutamakanpersatuan dan kesatuan bangsa.
Sebagai bukti dari penerimaan perbedaanperbedaan cara pandang dapat dilihat
dari penerimaan pancasila sebagai ideologi Negara pancasila,sehingga sangat
berpengaruh terhadap kebijakan dan kelangsungan nilai-nilai dan ajaran agama
yang dianut kelompok mayoritas tersebut (Harun Nasution, 1992).
Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai
kekuatan cultural, tetapi Islam
dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam. Sebagai kekuatan
moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan
politik secara riil. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah
diberi tempat tertentu dalam konfigurasi yang paradoks, terutama dalam dunia
politik. Sedangkan Orde Baru, tampaknya Islam diakui sebatas sebagai landasan
moral bagi pembangunan bangsa dan Negara.Pendiskriminasian Islam tersebut
memang sudah diawali pada saat wajah (ideologi) Indonesia akan ditentukan
sehingga muncullah berbagai gerakangerakan dan pertentangan-pertentang Islam
anti pemerintah akibat kekecewaan terhadap pembentukan Negara Pancasila sebagai
dasar Negara Indonesia (Posha,2015).
Islam Pasca Kemerdekaan (Pertentangan Ideologi)
Pada saat kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 terjadi
pergolakan antara para kalangan yang ingin menentukan ideologi negara bangsa
Indonesia. Pergolakan tersebut terbagi dalam dua kubu yaiu kalangan Muslim dan Nasionalis, dimana salah satu kubu ingin menjadikan Negara
Indonesia sebagai Negara Islam namun hal tersebut mendapat tantangan dari kubu
lain yang ingin menjadikan Negara Islam menjadi Negara Pancasila. Akibat dari
munculnya pergolakan tersebut perkembangan Islam dari segi politik makin
membesar disebabkan kekecewaan dari kalangan Islam yang ingin menjadikan Negara
Indonesia menjadi Negara khilafah Islam,
dan kekecewaan itu memuncak ketika dideklarasikan Negara Indonesia sebagai
Negara Pancasila (Posha,2015).
Beberapa konflik yang terjadi pada waktu itu umumnya
merupakan gerakan belum membahayakan dan bermunculan partai-partai antara lain:
Pertentangan diantara partai-partai (1950-1955) Pertarungan pada fase ini lebih
tajam lagi ditandai dengan perpecahan diantara partai karena ketidakpuasan dan
perbedaan pemahaman. Yaitu sejumlah anggota Masyumi yang dipimpin Wondoami Seno
dan Aruzi Kartawinata memisahkan diri dengan mendirikan partai Serikat Islam
Indonesia (PSII) yang lama agar dapat duduk dalam kabinet,pecahnya Partai
Masyumi yang sosialis agama dengan kelompok konservatif, pada bulan April 1952
Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi sebagai partai politik yang dasarnya
perebutan jabatan kementrian agama di kabinet dan bulan April 1955 PKI membuat
persetujuan dengan PSII sebagai pencegahan pandangan masyarakat bahwa PKI anti
agama (BJ. Boland, 1985: 46).
Sistem pendidikan Islam yang ada dan telah berkembang pada
masa itu, sebagai salah satu bentuk dan usaha pelaksanaan syariat Islam,
mendapatkan kesempatan dan jaminan untuk tetap berlangsung dan berkembang, serta
mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah. Menurut ajaran Islam,
pendidikan merupakan bagian hakiki dari tugas pengabdian (ibadah) dan
kekhalifahan manusia terhadap Tuhan yang harus dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab (Susanto, 2009).
Dinamika Islam Masa Orde Baru
Posisi politik Islam Indonesia semakin terdesak dimasa awal Orde Baru, Muhammad Natsir pernah mengungkapkan kegeramannya dengan mengatakan
–seperti dikutip Ruth Mc Vey-
“They have treated us
like cats with ring worm” Kalimat - yang secara harfiyah berarti
“mereka telah memperlakukan kami layaknya
kucing-kucing kurap”- ini terasa pedih.
Bagaimanapun juga, Natsir, salah seorang tokoh demokrasi
Indonesia dengan seketika menyerukan keteguhan Indonesia
terhadap nilai-nilai demokrasi, dua minggu setelah Soekarno
menyerukan
“demokrasi terpimpin”, adalah tokoh
Indonesia yang turut melahirkan dan menyantuni “Islam politik” di negeri ini. Tekanan
kuat rezim Orde Baru, memaksa kecenderungan gerak
politik umat Islam, bergeser kearah yang relatif lebih netral, yakni kearah
kebudayaan (Syamsudin,1983).
Sebagaimana yang disinyalir banyak
pengamat umat Islam Indonesia “sedang bergerak dari
minoritas politik ke mayoritas budaya”. Kebanyakan
aspirasi umat, terutama dekade antara 1980-1990-an,
tidak memandang aktiftas politik sebagai satu-satunya
wadah perjuangan dalam rangka berkhidmat pada
Islam dengan segala kandungan makna yang diyakini dan
dihayati dalam kehidupannya. Gerakan Islam saat itu
sedang bergerak ke arah spektrum baru yang lebih
dominan bersifat
kebudayaan dari pada politik. “Islam sebagai gerakan
kebudayaan” demikian menurut budayawan dan intelektual Islam, Dr. Kuntowijoyo, “dapat dirumuskan dalam
tiga sub gerakan, yakni: gerakan
intelektual, gerakan etik dan gerkan estetik.
Gejala inilah yang nampaknya sering dipandang sebagai
format baru gerakan Islam dalam penghadapannya dengan konteks kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam
arti yang umum dan tentu saja dalam kurun
waktu yang lebih mutakhir (Syamsudin,1983).
Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu kita bisa melihat berdasarkan sejumlah indikasi yang
menunjukkan rentang sejarah umat Islam di
tanah air, paling tidak ada beberapa
karaktenstik yang menandai karakkter gerakan era 80-an.
Pertama, semakin pudarnya
kepemimpinan polittk Islam, dan bangkitnya
kepemimpinan intelektual Muslim, terutama yang
berbasis di berbagai kampus utama di Indonesia. kedua, kecenderungan semakin lemahnya kecondogan pada hal-hal yang bersifat furu’iyah
dan tampak semakin menonjolnya isu-isu sosial,
ekonomi, intelektual dan estetika dalam Islam. Ketiga; kecenderungan yang ditandai semakin
melemahnya sikap-sikap sektarian dan semakin
tumbuhnya sikap-sikap nonsektarian disebagian
besar kalangan umat, terutama dikalangan generasi muda
Islam. Keempat, kecenderungan
memudarnya konsep umat yang dipahat bukan
lagi sebagai komunitas Muslim yang diikat
oleh organisasi massa Islam atau partai politik Islam yang eksklusif umat Islam dalam konteks ini, lebih
dikonsepsikan sebagai komunitas Muslim yang
kedudukan dan perannya tersebar luas dalam
struktur sosial yang ada atau katakanlah muncul wajah Islam yang lebih inklusif
(Donald
K. Emmerson(1998).
Pada saat itu atau pada dasawarsa 80-an hingga berakhirnya era Orde Baru, terlihat gerakan Islam
begitu sangat menarik. Dikatakan menarik
karena memiliki landasan-landasan teologis
yang kemudian berkembang menjadi diskursus gerakan yang
berbeda dengan sebelumnya. Diskursus ini memunculkan
praktek yang lain pula. Inilah yang oleh Donald K. Emmerson disebut sebagai diskursus Islam yang tengah
menegaskan dimensi kulturalnya, jika bukan
dimensinya yang sama sekali non-politis (Donald
K. Emmerson(1998).
Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi kondisi di atas adalah perubahan struktural di dalam
kehidupan poltik dan sosio-ekonomi sebagai
akibat pembangunan yang dijalankan Orde
Baru. Situasi ini menciptakan ketegangan idiologis antara Islam dengan Negara yang berbuntut kekalahan umat
Islam sedikitnya dalam lima hal: konstitusi,
pemilihan umum, fisik, birokrasi dan simbol.
Selanjutnya, kekuatan politik formal Islam terkikis
habis oleh kebijakan politik Orde Baru. (Donald K. Emmerson,1998).
Islam pasca Orde Baru
Bagaimana respon umat Islam terhadap pasca orde baru. Mark
Woodward misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru
ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut
doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama
maupun yang baru. Pertama, Indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah
ekspresi Islam yang bersifat lokal, secara formal mereka mengaku beragama Islam
tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang
ortodoksi Islam. Karakteristik ini pararel dengan apa yang disebut Clifford
Geertz sebagai Islam abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan
agama, mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama
ke ranah negara dan sebaliknya (Simorangkir,2015).
Kedua, kelompok tradisionil Nahdatul Ulama (NU). NU adalah
penganut aliran sunni terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya
sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok
lain seperti yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru dan murid
yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam
lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya
tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman
sehari-hari. Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhamadiyah,
organisasi terbesar kedua setalah Nahdatul Ulama (NU). Ia berbasis pada
pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide
modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya dalam arus utamanya menolak
ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritarisme yang lebih
menonjolkan “keAraban” (Simorangkir,2015).
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut
terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme tetapi juga di
dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad
dan penerapan syariah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok
ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan
siapa saja yang diidentifikasi sebagaimusuh Islam yang mereka defenisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan
kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok,
termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya
tergabung berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam
dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka melakukan pencarian tafsir baru
terhadap berbagai doktrin Islam berdasarkan pada realitas masyarakat dan
penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermenutika
(Simorangkir,2015).
Runtuhnya Orde Baru, yaitu modernis, tradisionalis,
neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari defenisi
masing-masing kategori dengan mengabaikan satu ketegori dari Woodward yaitu Indigenized Islam. Bagi Riddel,
masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu
krusial di tahun-tahun periode pertama pasca pemili pertama runtuhnya Orde Baru
yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta,
krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indoensia federal,
tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, presiden prempuan dan
partai politik baru. Meskipun berbeda kategori dengan kedua pendapat di atas,
bahwa sejak jatuhnya orde baru di susul dengan era reformasi oleh beberapa
pengamat dipandang sebagai situasi yang kondusif bagi munculnya partai-partai
politik Islam dan gerakan Islam di Indonesia. Penulis mencoba melihat bagaimana
kategori-kategori ini bermaindalam bidang politik maupun dalam gerakangerakan
bernunasa Islam(Simorangkir,2015).
Peran Tokoh NU dalam konsolidasi keummatan
Reformasi atau pasca kekuasaan Soeharto telah memberikan
kesempatan selebar-lebarnya setiap keyakinan serta ideologi politik untuk
berlomba-lomba mengisi ruang-ruang publik, selanjutnya di konsestasikan secara
legal dan damai melalui pemilu. Tentunya terjadi pergulatan ideologis atau
teologis tidak hanya antara kutub agamais dengan nasionalis, bahkan juga sesama
kalangan Islam, saling mengklaim penafsiranya paling sesuai dengan ajaran
Islam. Tentu pengulatan ini menjadi fenomena yang menarik untuk melakukan
penelitian. Penelitian ini melihat dinamisasi Islam politik dan gerakan
keagamaan lainnya pasca Soeharto. Apakah bertahan untuk memperjuang kan
apirasinya politik bersifat formalis atau mengalami pergeseran nilai dari
ideologis ke Islam substansi dengan mengakomodasi beberapa aspirasi umat Islam
(Simorangkir,2015).
Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah
perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan
negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif
melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik
Indonesia dalam wadah NKRI. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dapat
dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama
(NU). Paling tidak ada tiga alasan besar yang melatarbelakangi lahirnya
Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu Pertama,
motif agama. Kedua, motif
mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa
’l-Jamā’ah, dan ketiga, motif
nasionalisme (Chairul anam,1996).
Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan
upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit
menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan
bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional
kemerdekaan negara Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat
Indoneisa pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk
makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya
persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan pejuang rakyat kita,
apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh penjajah Belanda.
Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama NU yang
berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada
mekanik atau organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh ulama-ulama
NU (bisa berupa asmā’, ḥizb, dhikir,
ṣalawāt dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan
kekuatan besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan sugesti
yang kuat ini perjuanganpara ulama bisa menghantarkan ke sebuah kemerdekaan
berkat rahmat Allah (Ahmad,1985).
Prinsip Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga
kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU
menganjurkan untukn senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang
plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi
dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Merespon
berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan antara bangsa kita sendiri yang
mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan
bangsa yang disebabkan oleh dampak negativeglobalisasi, kebebasan berpendapat
dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatism,
radikalisme, konflik ras dan agamayang mengancam kesatuan negara Republik
Indonesia, NU merasa perluuntuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan
Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini (Farih,2016).
Keberadaan ormas menjadi sangat penting sebagai komunikasi
politik yang baik. Ormas NU mampu dijadikan sebagai ‘’opinion leader’’. Untuk melaksanakannya peran tersebut NU perlu
mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama ,pembenahan fungsi kultur sosial
(moralitas poltik) pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya.
Kedua mendayagunakan kelembagaan media
sebagai ruang public alternative yang
dapat menjadi kekuatan potensial. Ketiga, membangun kemandirian masyarakat
tentang apa yang harus dilakukan untuk
memungkinkan berlangsungnya fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan public
dan kesetaraan warga negara dalam politik demokrasi yang di bangun. Tokoh NU
yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH.Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur (Muaddab,2015).
Apatisme masyarakat terhadap politik secara stuktural
merupakan bagian dari alienasi politik. Alienasi politik seperti dijelaskan
oleh Lane dalam bukunya, political ideology,memiliki definisi umum sebagai
keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik di dalam masyarakatnya
sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik. Masyarakat yang acuh
tak acuh pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat di tempatkan
sebagai floating mass yang hanya
diaktifkan dimasa pemilihan. Fakta ini
terjadi mana kala NU hanya dimanfatakan menjadi pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai mitra
strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik (Lane,1962).
Istilah opinion
leader menjadi perbincangan dalam litelatur komunikasi tahun 1950-1960an.
Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influence atau
tasyemakers untuk menyebut opinion
leader. Kemudian istilah opinion
leader menjadi lebih dekat dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena
tingkat media exposure-nya dan tingkat pendidikannya yang masih rendah. Akes
media yang lebih memungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi. Melalui seorang opinion
leader -lah informasi yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat
awam. Sehingga secara tidak langsung opinion
leader merupakan perantara berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat
setempat. Mereka sangat dipercaya untuk dijadikan panutan serta menjadi tempat
bertanya dan meminta nasehat berbagai hal. Oleh sebab itu opinion leader sangat penting untuk dijadikan alat konsolidasi
keumatan (Muaddab,2015).
Menurut Muaddab
(2015) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa opinion
leader harus memiliki berberapa kategori agar mampu menjalin komunkasi.
Kategori-kategori tersebut dibagi menjadi 6 yaitu:
1. The Controlling Style
Yaitu bersifat mengendalikan dimana
gaya mengendalikan ini dengan ditandai adanya satu kehendak untuk
membatasi,memaksa atau mengatur baik perilaku,pikiran dan tanggapan komunikan.
Oleh karena itu opinion leader tidak berusaha untuk membicarakan
gagasannya,namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa
yang diharapkan tanpa mendengar pemikiran dari komunikan.
2. The equalitarian style
Gaya ini menggunakan kesamaan pikiran
antara opinion leader dan komuinikan.dalam gaya ini tindak
komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota dapat mengkomunikasikan gagasan
ataupunataupun pendapat dalam suasanan rileks, santai dan informal. Sehingga
dalam kondisi seperti ini diharapkan mampu mencapai pengeertian bersama.
3. The Structuring style
Poin dari gaya ini adalah penjadwalan
tugas dan pekerjaan secara terstruktur. Seorang opinion leader dalam gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal
secara loisan maupun tulisan agar memantapkan intruksi yang harus dilaksanakan
oleh semua anggota komunikasi.
4. The Relinquising Style
Gaya komunikasi ini lebuh dikenal gaya
yang agresif, artinya komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi
pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai
untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa.
5. The
Dynamic Style dalam sebuah
komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan.
Bekerja sama antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi
ini.
6. The Withdrawal Style
Deskripsi dari gaya ini adalah
independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah
untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok.
Gambar 1. Skema opinion leader NU (Muaddab,2015).
Kesimpulan
Negara Indonesia mempunyai penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Dalam kehidupan
mayoritas masyarakat muslim ini terdapat variasi cara pandang (paradigma)
menyangkut kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak di dasarkan
satu paham keagamaan. Dalam mewujudkan konsolidasi keberadaan ormas menjadi
sangat penting sebagai komunikasi politik yang baik. Ormas NU mampu dijadikan
sebagai
‘’opinion
leader’’. Karakteristik yang harus dimiliki opinion leader ada 6 yaitu The Controlling Style, The equalitarian style , The Structuring
style, The Relinquising Style , The Dynamic Style dan The Withdrawal Style.
Daftar pustaka
Ahmad Mansur
Suryanegara, A.P.E Korver.1985. Sarekat
Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafiti.
Boland B.j. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia
1945-1970.Jakarta: Grafiti pers.
Choirul Anam.1998. Pertumbuhan Dan Perkembangan Nu(Surabaya: Bisma Satu Press
Farih Amin, 2016. Nahdlatul Ulama (Nu) Dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Nkri) Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24
No. 1 Harun. 1992. Ensiklopedi Islam.
Jakarta: Anda Utama.
Lane,R.E.1962.
Political Ideology. Why the American
common Man Believes What He Does, Newyork.The Free press.
Muadab Hafis,2015.
Nahdlatul Ulama’ Sebagai Opinion Leader Dalam Politik Demokrasi Di
Indonesia. Jurnal Politika Vol 1 Nomor 1nasution,
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
Syamsuddin,
Din 1.993 .“Usaha Pencarian
Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”. Ulumul Qur’an, Vol.4, No.2,
Posha, Beti Yanuri.
2015.Perkembangan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jurnal Historia Volume 3, Nomor 2,
image from : Kioslambang - WordPress.com
BOLAVITASPORTS PREDIKSI SKOR TERPERCAYA DAN TERAKURAT
ReplyDeleteJADWAL SABUNG TERLENGKAP agen adu ayam terbesar sejak 2014
Dapatkan Bonus Spesial Ulang Tahun B-o-l-a-v-i-ta ke 6 !
Event Promo Freechips Deposit s/d Rp 2.000.000,-
Berlaku 10 Maret 2019 Pukul 12:00 - 19:00 WIB
Yuk Gabung Bersama B-o-l-a-v-i-t-a Di Website www. b-o-l-a-v-i--ta .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: B-O-L-A-V-I-T-A
WA: +62-8-1-2-2-2-2-2-9-9-5