BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang terdiri
dari berbagai macam dimensi. Selain dimensi akidah dan syariat, ada juga
dimensi akhlak atau yang kerap muncul dengan nama tasawuf. Pada mulanya tasawuf
merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi Islam. Sejak
zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap Islam secara
lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam di pandang dari dua aspek yaitu aspek
lahiriyah dan batiniyah.
Dalam sejarah perkembangannya, para
ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, ada
pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam.
Tasawuf
yang berorientasi kearah pertama disebut sebagai tasawuf dimensi spiritual. Ada pun tasawuf yang berorientasi kearah kedua
disebut tasawuf falsafi. Tasawuf
sangat konsen terhadap spiritual, karena pada dasarnya spiritualisme pada
tasawuf merupakan pokok bahasan yakni tentang kehidupan hati seorang ahli sufi.
Yang kemudian disini Dimensi Spiritual sangat urgen pada manusia dalam proses
pencarian kehidupan yang sejati.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian tentang tasawuf di atas,
kami merumuskan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam akalah ini,
yaitu:
1.
Apa yang dimakdud dengan
tasawwuf dimensi spiritual?
2.
Bagaimanakan
Keadaan-Keadaan Spiritual para Sufi?
3.
Bagaimanakah Bentuk
Penguasaan Spiritual Para Sufi?
4.
Siapakah
tokoh-tokoh dalam ajaran tasawuf dimensi spiritual?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, kita
dapat mengetahui bahwa tujuan dari penulisan ini adalah
1.
Untuk mengetahui tentang
tasawwuf dimensi spiritual
2.
Untuk mengetahui
Keadaan-Keadaan Spiritual para Sufi
3.
Untuk Mengetahui Bentuk
Penguasaan Spiritual Para Sufi
4.
Siapakah
tokoh-tokoh dalam ajaran tasawuf dimensi spiritual
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dimensi
Spiritual
Islam merupakan agama yang terdiri
dari berbagai macam dimensi. Selain dimensi akidah dan syariat, ada juga
dimensi akhlak atau yang kerap muncul dengan nama tasawuf. Salah satu
karakteristik tasawuf adalah peningkatan moral; pembersihan jiwa serta
pengekangan diri dari materialisme duniawi. Melalui tasawuf, manusia dibimbing
untuk menjadi pribadi yang cerdas, baik akal maupun spiritual.
Tasawuf sangat konsen dalam urusan spiritual. Sementara kita tahu, potensi
spiritual merupakan dasar dan inti kehidupan manusia. Seorang filosof bahkan
pernah menyebutkan bahwa manusia bukanlah makhluk dunia yang mengalami
kehidupan akhirat (spiritual). Namun manusia adalah makhluk spiritual
yang mengalami kehidupan dunia. Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam
dan menarik untuk dicermati, bahwa dimensi spiritual pada manusia
sangatlah penting (urgen) untuk diperhatikan.
Dimensi spiritual adalah bagian dari
tasawuf, yang padasarnya tasawuf adalah bentuk penyucian hati, Istilah
tasawuf, menurut H.M Amin Syukur (1999: 28-29) adalah istilah yang baru di
dunia Islam. Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada
zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam
al-Qur’an.Gelar yang paling terhormat saat itu adalah Shahabat. Istilah
lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah ke Madinah juga hanya melahirkan
istilah Muhajirin dan Anshar. Pada masa Khulafaur-rasyidin,
tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul istilah Tawwabin (mereka
yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in (orang yang selalu
mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli
ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan sebagainya.
Rujukan asal kata “tasawuf” sendiri
terdapat beberapa pendapat. Haidar Bagir, sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Suyuti (2001: 9) menginventarisir istilah tasawuf dengan merujuk pada
beberapa kata dasar. Di antaranya adalah
1.
Katashaff (baris,
dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama.
2.
Kata Shuf, yakni
bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi.
3.
Kata Ahlu as-Shuffah,
yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya
rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar
al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud,
Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman.
4.
Ada juga yang
mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana,
yakni Bani Shufah.
5.
Meski jarang, sebagian
yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa
atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu
Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far
Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna
penyucian sulfur merah.
Haidar menambahkan bahwa di dalam
buku tasawwuf, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu
definisi istilah ini.Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau
mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk
tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan
atau tentang hakikat segala sesuatu).Kepada apapun dirujukkan, semua sepakat
bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada
gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati.
Namun, menurut Amin Syukur (2000:
11) yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu
domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun
aspek kesejarahan.
Pada hakikatnya Tasawuf sebagaimana
disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke
dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah,
kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen
pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri
manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai
dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak.Elemen ini
dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang
dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan
memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen kedua sebagai unsur
perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang
emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan,
maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan
jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan
diri kepada Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti
manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati
Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di
hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat
tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin
(riyadhah), spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah yang
dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana
diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)
Dalam Sejarah dan Perkembangan
Tasawuf faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam
bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau
Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup
kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
Untuk menilai apakah satu ajaran
tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup
hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam
laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan,
paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan
objektif.Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke
substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan
sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan
meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk
membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh
Zakaria al-Anshari mendefiniskan. Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM.
Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor
tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama,
dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia.Kedua, berasal dari
asketisme Nasrani.Ketiga, dari ajaran Islam sendiri.Keempat, berasal dari
sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian, kita paham, bahwa
inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan kesalehan,
sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam sejarah
tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu: model
syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah, yang
kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan
dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.
Terdapat tiga golongan masyarakat
terkait sisi kecendrungannya terhadap akhirat, maknawiyat dan ibadah.
1.
Golongan yang takut kepada azab neraka dan kerugian duniawi
yang dijanjikan Tuhan kepada mereka dan disampaikan melalui para nabi-Nya.
Mereka menyembah Tuhan dan taat kepadanya serta beriman kepada kemurkaan-Nya,
serta hari Kiamat, kemaksuman nabi dan imamah, kepemimpinan para maksum,
keimananan mereka yang bersandar pada makrifat dan ilmu atau beribadah dengan
benar, bukan taklid buta yang dalam bahasa Imam Ali As, “ibadahnya kaum budak.”
Yaitu beribadah dan taat karena ingin menghindar dari azab.
2.
Golongan orang yang serakah kepada surga dan ingin
mendapatkan janji-janji Tuhan di dunia dan akhirat, dengan memeperoleh
kecendrungan maknawiyat dan agama serta sokongannya, memiliki iman kepada ghaib
dan visi yang benar bukan taklid buta. Ibadah orang-orang yang termasuk
golongan ini dilakukan karena ada kepentingan yang terpendam dari pelaksanaan
ibadah tersebut. Dalam bahasa Imam Ali As ibadah semcam ini adalah ibadahnya
kaum peniaga. Golongan orang yang berusaha dan bekerja untuk mendapatkan
ganjaran dan pahala dari Tuhan.
3.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang beribadah atas dasar
pendalaman, pemikiran, visi disertai dengan syukur kepada Sang Pemberi nikmat,
upaya bertungkus lumus untuk mendapatkan Sang Kinasih sejati. Tunduk patuh
terhadap pelbagai perintah dan titah Ilahi. Orang-orang seperti ini adalah
orang-orang yang disebut oleh Imam Ali sebagai “ahrar” orang-orang
merdeka. Orang-orang yang menyenangi pelbagai nikmat duniawi dan ukhrawi, jauh
dari ananiyah dan egoisme dan lebur dalam kecintaan kepada Tuhan. Atau meminjam
bahasa Irfan “fana filLah.” Ia tidak memandang dirinya, tidak
menggunakan logika untung dan rugi sehingga dengan itu ia melakukan penghambaan
dan ketaatan. Dalam kamus orang-orang yang termasuk dalam golongan ini tidak
taat tatkala ingin mendapatkan keuntungan atau membangkang tatkala menderita
kerugian. Dalam kebudayaan Islam dan al-Qur’an ketiga golongan ini dengan
perbedaan tingkatan dan derajatnyag secara vertikal dan horizontal memiliki
spiritualisme hakiki, sepanjang mereka memiliki tanda-tanda di bawah ini dan
telah melewati pelbagai ujian, namun jelas bahwa tiga golongan ini tidak
sederajat dan golongan ketiga sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan dua
golongan sebelumnya
Dari hal tersebut, bahwasannya
Tingkatan-tingakatan spiritualisme itu sendiri dibagi menjadi tingkatan, yakni
:
1.
Syari’at (Awwam)
2.
Thoriqoh (Fana’)
3.
Hakikat (Baqo’)
Tanda-tanda
yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan orang yang memiliki
spiritualisme hakiki di antaranya:
1.
Orang yang meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan
segala kewajiban secara berketerusan
2.
Iman disertai dengan amal shaleh
3.
Mengoreksi segala keyakinan dan tidak mengerjakan perbuatan
tercela kepada Tuhan seperti bahwa Tuhan memiliki anak atau adanya kemungkinan
perbuatan buruk dikerjakan Tuhan, atau bahwa para malaikat adalah putri-putri
Tuhan, atau memandang bahwa para malaikat merupakan sekutu Tuhan
4.
Mengingat Tuhan dan membaca al-Qur’an serta berpartisipasi
dalam majelis-majelis maknawi baginya merupakan sebuah kelezatan dan menyaksikan
dosa dan para pendosa menyebabkan derita dan kesedihannya.
5.
Tidak menyerah di hadapan segala kepelikan dan musibah
duniawi sehingga menyeretnya kepada kekufuran, melainkan senantiasa berharap,
tawakkal kepada Tuhan dan bersabar menghadapinya serta berusaha untuk mencari
jalan keluar darinya dan dengan mengingat Tuhan hatinya menjadi tenang.
6.
Tiada satu pun yang berpengaruh secara mandiri selain Tuhan
dan seluruh pelaku – baik pelaku natural atau manusia – merupakan para
pelaksana perintah Tuhan dan seluruhnya bergantung dan bersandar kepada Tuhan.
7.
Dalam kondisi-kondisi tersedianya ruang maksiat dan dosa
seperti: sampai kepada sebuah kedudukan atau harta dan tersedianya pelampiasan
hawa nafsu, ia menahan nafsunya dan menjaga dirinya dengan jihad akbar, ia
menyembelih nafsu ammarahnya serta menjinakkan segala kecendrungannya.
8.
Tidak bersedih hati karena mendermakan harta, anak dan jiwa
di jalan Allah dan memandang bahwa dengan memperoleh harta duniawi dan segala
isinya tidak menyebabkan orang keluar dari rel penghambaan.
9.
Tidak banyak mencari-cari dalih dan dengan kerelaan sempurna
ia berserah diri terhadap hukum Allah, Rasul dan Wali-Nya As. Dan jiwanya tidak
akan bersedih hati apabila tidak sejalan dengan selera dan tabiatnya
10.
Menerima dan mengidentifkasi segala ilham Rahmani, perhatian
dan inayah Ilahi dan sampai kepada kehidupan tayyibah
Mengidentifikasi spiritualisme emosional dan labil dari
spiritualisme hakiki yang stabil dan terpelihara memerlukan kehendak dan tekad
yang kuat serta sabar dan ketabahan ekstra. Khususnya pada tingkatan dimana
seluruh faktor-faktor sosial dan global bergandengan tangan seiring sejalan
ingin memisahkan manusia dari agama dan spiritualitas kemudian menjadikannya
sebagai budak para penjajah
Namun
harus diperhatikan bahwa manusia adalah eksisten yang tidak hanya memiliki
kemampuan bergerak melawan arus sungai namun ia juga mampu mengubah arah
gerakan masyarakat atau dunia dan minimal kemampuan menjaga dirinya pada
kondisi yang paling pelik sekali pun, semakin pekerjaan tambah pelik maka
nilainya dan ganjaran yang diterimanya akan semakin besar.
B. Keadaan-keadaan
Spiritualisme Sufi
Tugas utama guru-guru sufi adalah
membimbing murid-muridnya supaya terhindar dari berbagai bahaya serta perangkap
yang siap menjerat jiwa manakala ia menjumpainya dalam kegelapan. Sebab, alam
yang dimasuki adalah Dunia Imajinasi, yang tak berujung. Ia adalah tempat
tinggal setan dan segala kekuatan jahat lainnya. Seseorang yang menempuh perjalanan (spiritual) memerlukan
kepala (baca; pikiran) yang jernih selama melakukan perjalanan yang tidak dapat
menghindarkan diri dari kekuatan-kekuatan yang menyesatkan yang berada di
seberang “wilayah” stabilitas dan keseimbangan. Bagi kaum sufi Syari’at, yang
membangun alam lahir maupun alam batin, memberikan sebuah petunjuk yang sangat
berguna untuk memasuki dunia imajinal. Tanpanya, seseorang yang sedang menempuh
perjalanan spiritual akan terombang ambingkan oleh hembusan angin tipu daya.
Akhir-akhir inin orang banyak tertarik dengan spiritualitas Timur dengan
harapan akan memperoleh suatu “pemgalaman,” meski mereka menyebut hal itu
sebagai suatu pengalaman yang setelah mengalami “kemenyatuan” dengan Tuhan,
yang sesuai dengan berbagai tolok ukur dan norma-norma pengalaman spiritual
yang dpat dicapai melalui berbagai disiplin spiritual, seperti Sufisme.
Sebenarnya, terdapat dunia yang tak
terhingga di dalam dunia yang tak tampak, sebagian daripadanya lebih mengerikan
dan lebih ganas dari belantara hutan yang terdapat dunia mayapada ini. Tidak
ada seorang pun yang akrab dengan ajaran-ajaran Sufisme yang berani memasuki
belantara itu jika tanpa bimbingan seorang syekh yang dia sendiri pernah
memasukinya, manghadapi bahaya-bahaya yang ada di dalamnya dan mampu
mengatasinya. Sebagaimana telah kita ketahui, ahwal tidak dapat dilepaskan dari
dzauq. Dengan kata lain, melalui keadaan cinta, kerinduan, takut,
kebersyukuran, atau kondisi psikologis dan spiritual lainnya yang diperoleh
melalui tangan pertama dari orang-orang yang dengannya ahwal menjadi nyata,
memiliki ilmu hakikat. Namun dalam pandangan ibn-al ‘arabi, ahwal merupakan
sebuah tanda ketidakmatangan dan ketidakstabilan.
Seperti orang gila, seseorang yang
memiliki ahwal kehilangan akalnya dalam menghadapi keadaannya sendiri. Karenanya,
sebagaimana halnya dengan orang gila, dia terbebas dari (hukum) Syari’at,
begitu pula bagi sang pemilik keadaan, dia tidak trkena tanggung jawab atas apa
yang dia alami dan diperbuatnya, tidak ada seorang pun yang dapat meniru dan
menentangnya. Guru-guru sufi yang hakiki telah melampaui keadaan-keadaan
(ahwal) ini, selalu memiliki “kepala yang dingin” tidak terpengaruh oleh
keadaan batin yang mereka alami. Mereka berada dalam maqamat yang bersifat
tetap dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengalami ketidakstabilan
serta teromabang-ambing oleh keadaan.
Kata hal atau keadaan berasal dari
akar kata ha-wa-la, yang membentuk kata tahawwul atau transmutasi diri. Makna
dasar dari kata ini mengalami perubahan dari satu situasi ke situasi lain, atau
dari satu keadaan ke keadaan lain. Dalam pengertian nonteknis, sebuah keadaan
dapat ,menunjuk pada sebuah situasi, kondisi, masa, perkiraan, dan segala
sesuatu yang mengalami perubahan, masa sekarang, dan sebagainya. Dalam
pengertian yang secara teknis atau lebih luas, keadaan menunjuk pada situasi
yang sedang dihadapi oleh suatu eksisten, meski para Sufi telah
mengklasifikasikan keadaan-keadaan psikologis dan spiritual tertentu yang
dialami oleh mereka yang sedang menempuh perjalanan spiritual melalui berbagai
“kategori” yang umumnya merupakan pasangan dari berbagai pertentangan.
Dalam pengertian yang paling
umum,”keadaan-keadaan” (ahwal) dari segala sesuatu merupakan “kesibukan” Tuhan, transmutasi penyikapan diri Tuhan yang
bersifat konstan, penciptaan setiap saat. “Di dalam makhluk Dia senantiasa
menciptakan keadaan-keadaan. Sebagaimana telah ditunjukkan ssebelumnya, keadaan
juga dibedakan dari maqam melalui kenyataan bahwa keadaan (hal) merupakan
pelimpahan dari Tuhan, sementara maqam diupayakan.
Seorang sufi sejati memiliki
kemampuan untuk melakukan suaru perbuatan “yang meyimpang dari kebiasaan”
(kharq al-‘adah) berkaitan dengan apa yang dikehendakinya, namun ia hanya akan
melakukannya dalam kondisi tertentu saja dan hal itu sesungguhnya merupakan pengejawantahan
perintah Tuhan. Dia sangat memperhatikan adab, meletakkan segala sesuatu sesuai
dengan tempat (‘adil), memenuhi hak sesama makhluk, dan mengaktualisasikan
keberhambaanya di hadapan tuhan. Dalam hal ini, dia juga memiliki sebuah
“keadaan” yang menjadi tanda bagi kematangannya, jika dia tidak slah arah dan
terjerumus ke dalam kesesatan.
Seseorang yang memiliki maqam
tertentu berada di dalam dunia ilmu batin, sementara orang yang memiliki
keadaan sama halnya dengan orang yang “turun” ke “dunia luar” dan “dunia yang
lebih rendah” untuk mengamalkan ilmunya. Hal yang sangat terkait erat dengan
ahwal dab tindakan-tindakan mukjizati yang bisa diupayakan oleh salik yang
belum matang adalah persoalan tentang berbagai macam ilmu ghaib yang dapat
menghasilkan efek- efek setara di luar dunia.
C.
Penguasaan
Spiritual
Hubungan antara syekh atau guru
spiritual dan muridnya adalah sebuah hubungan yang memiliki persoalan sangat
kompleks dalam mata praktis sufisme dan hanya dapat memahami dlam konteks ini.
Semua sufi setuju bahwamemasuki sebuah jalan tanpa bimbingan seorang guru
adalah mustahil. Jika seseorang berpikir bahwa dia bisa melakukannya, berarti
dia telah tersesat jalannya. Alasan utama bagi penyingnya seorang guru
spiritual yang tidak bisa ditwar-tawar lagi adalah bahwa jalan itu tidak
dikenal sebelum ia dilewati, dan seseorang tidak mungkin bisa bahwa
memperiapkan dirinya sendiri untuk menghadapai berbagai bahaya dan perangkap
yang menghadang dijalan itu. Tidak dapat diketahuinya jalan itu kembali pada
tak dapat diketahuinya Tuhan.
Jalan yang dapat diketahui adalah
jalan yang Dia ajarkan kepada kita melalui wahyu. Menempuh jalan itu hanya
mungkin dilakukan melalui pentunjuk-Nya. Walaupun jalan yang lapang dan mudah
dari Syari’ah bisa dilalui oleh semua orang, tetapi jalan yang sempit dan
berliku dari Thariqah memerlukan kualifikasi-kualifikasi khusus bagi para
pecari dan orang yang menunjukkan jalan itu. Alas an penting kedua bagi
pentingnya seorang guru adalah prinsip yang di tunjukkan dalam ayat Al
quran,”Masukilah rumah melalui pintu-pintunya”. Setiap upaya untuk memasuki
rumah ini oleh orang lain tanpa melalui pintunya berarti merepresentasikan
kekurangajaran yang tak terkirakan kepada Tuhan dan Nabi-Nya.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Ibn
al-‘arabi dalam pengertian tertentu, terdapat sebuah saling keterpautan antara
melakukan ‘latihan’ di bawah bimbingan seorang guru, dengan pengertian yang
lebih umum, mengunjungi sang guru serta memohon restu darinya. Penghormatan
kepada seorang syekh tiada lain adalah penghormatan kepada Tuhan, itulah
penghormatan kepada Tuhan di dalam Tuhan.
Hubungan antara seorang guru dengan
muridnya buakn merupakan suatu hubungan sepihak. Seorang syekh, sebagaimana
halnya Nabi, harus senantiasa berdoa,”Tuhanku, tambahkan padaku ilmu,” dan hal
itulah yang menjadi sebab Tuhan memilih seorang murid dapat mengambil bagian
dari ilmu baru sang guru. Ibn al-‘arabi menunjukkan hal ini ketika berbicara
tentang hubungan antara kekayaan dengan kefakiran.
D.
Tokoh
Ahli Spiritual
1.
Syeh Abdul Qodir
Jaelani
Tokoh sufi yang paling masyhur, tokoh yang dikenal
sebagai cikal bakal berdirinya thiriqoh Qodiryyah, Seorang Pelopor Sufi Ahli
Spiritual.
2.
Ibnu Sina
Seorang Fisuf, ilmuwan juga dokter kelahiran, lahir di
persia, mempunyai ciri-ciri ahli spiritual yakni Ketengan Hati.
3.
Imam Ghozali
Mempunyai Karya-karya Hebat dalam menguak tabir Sufi
Spiritualisme, salah satunya Ikhya’ Ulumuddin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dimensi
Spiritual = Urgen dalam Diri Manusia, maksudnya dalam
proses pencapaian tingkatan hakiki, tasawuf dalam hal ini bentuk ketenangan
hati (spiritualisme) sangt berperan
aktif.
2. Dimensi
Spiritual sebagai bentuk ketenangan hati
3. Dan juga Dimensi Spiritual
sebagai ruang pembatas yang didalamnya menguak tentang Pengusaan
Hati.
B. Saran
Dengan
adanya ilmu tasawuf yang identik dengan kehidupan hati para ahli spiritual,
maka kita sebagai seorang pemeluk agama yang haus akan ilmu hati, seharusnya
bias lebih relevan lagi dalam mengimplementasikan ilmu yang didapat yeng
bertujuan untuk penyempurnaan hati.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syahawi,
Majdi Muhammad. 2001. Mempertajam
Kepekaan Spiritual. Jakarta : Bina Wawasan
Chittick,
William. 2001. Pengetahuan Spiritual Ibnu
Al-Araby.Yogyakarta : Penerbit Qalam.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?