Thursday, November 27, 2014

makalah tasawuf dimensi spiritual para Sufi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Islam merupakan agama yang terdiri dari berbagai macam dimensi. Selain dimensi akidah dan syariat, ada juga dimensi akhlak atau yang kerap muncul dengan nama tasawuf. Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap Islam secara lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam di pandang dari dua aspek yaitu aspek lahiriyah dan batiniyah.
            Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf  yang mengarah pada teori-teori perilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.
            Tasawuf yang berorientasi kearah pertama disebut sebagai tasawuf dimensi spiritual. Ada pun tasawuf yang berorientasi kearah kedua disebut tasawuf falsafi. Tasawuf sangat konsen terhadap spiritual, karena pada dasarnya spiritualisme pada tasawuf merupakan pokok bahasan yakni tentang kehidupan hati seorang ahli sufi. Yang kemudian disini Dimensi Spiritual sangat urgen pada manusia dalam proses pencarian kehidupan yang sejati.

B.     Rumusan Masalah
            Dari uraian tentang tasawuf di atas, kami merumuskan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam akalah ini, yaitu:
1.                  Apa yang dimakdud dengan tasawwuf dimensi spiritual?
2.                  Bagaimanakan Keadaan-Keadaan Spiritual para Sufi?
3.                  Bagaimanakah Bentuk Penguasaan Spiritual Para Sufi?
4.                   Siapakah tokoh-tokoh dalam ajaran tasawuf dimensi spiritual?


C.    Tujuan
            Dari rumusan masalah diatas, kita dapat mengetahui bahwa tujuan dari penulisan ini adalah
1.                  Untuk mengetahui tentang tasawwuf dimensi spiritual
2.                  Untuk mengetahui Keadaan-Keadaan Spiritual para Sufi
3.                  Untuk Mengetahui Bentuk Penguasaan Spiritual Para Sufi
4.                   Siapakah tokoh-tokoh dalam ajaran tasawuf dimensi spiritual






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dimensi Spiritual
            Islam merupakan agama yang terdiri dari berbagai macam dimensi. Selain dimensi akidah dan syariat, ada juga dimensi akhlak atau yang kerap muncul dengan nama tasawuf. Salah satu karakteristik tasawuf adalah peningkatan moral; pembersihan jiwa serta pengekangan diri dari materialisme duniawi. Melalui tasawuf, manusia dibimbing untuk menjadi pribadi yang cerdas, baik akal maupun spiritual.
            Tasawuf sangat konsen dalam urusan spiritual. Sementara kita tahu, potensi spiritual merupakan dasar dan inti kehidupan manusia. Seorang filosof bahkan pernah menyebutkan bahwa manusia bukanlah makhluk dunia yang mengalami kehidupan akhirat (spiritual).  Namun manusia adalah makhluk spiritual yang mengalami kehidupan dunia. Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam dan menarik untuk dicermati, bahwa dimensi spiritual pada manusia sangatlah penting (urgen) untuk diperhatikan.
            Dimensi spiritual adalah bagian dari tasawuf, yang padasarnya tasawuf adalah bentuk penyucian hati, Istilah tasawuf, menurut H.M Amin Syukur (1999: 28-29) adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an.Gelar yang paling terhormat saat itu adalah Shahabat. Istilah lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah ke Madinah juga hanya melahirkan istilah Muhajirin dan Anshar. Pada masa Khulafaur-rasyidin, tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul istilah Tawwabin (mereka yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in (orang yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan sebagainya.
            Rujukan asal kata “tasawuf” sendiri terdapat beberapa pendapat. Haidar Bagir, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Suyuti (2001: 9) menginventarisir istilah tasawuf dengan merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah
1.                   Katashaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama.
2.                   Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi.
3.                   Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman.
4.                   Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah.
5.                   Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
            Haidar menambahkan bahwa di dalam buku tasawwuf, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini.Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu).Kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati.
            Namun, menurut Amin Syukur (2000: 11) yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
            Pada hakikatnya Tasawuf sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
            Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak.Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
            Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.
            Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
            Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah), spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)
            Dalam Sejarah dan Perkembangan Tasawuf faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
            Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif.Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
            Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan. Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi  empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia.Kedua, berasal dari asketisme Nasrani.Ketiga, dari ajaran Islam sendiri.Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
            Meskipun demikian, kita paham, bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu: model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah, yang kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.
            Terdapat tiga golongan masyarakat terkait sisi kecendrungannya terhadap akhirat, maknawiyat dan ibadah.
1.                   Golongan yang takut kepada azab neraka dan kerugian duniawi yang dijanjikan Tuhan kepada mereka dan disampaikan melalui para nabi-Nya. Mereka menyembah Tuhan dan taat kepadanya serta beriman kepada kemurkaan-Nya, serta hari Kiamat, kemaksuman nabi dan imamah, kepemimpinan para maksum, keimananan mereka yang bersandar pada makrifat dan ilmu atau beribadah dengan benar, bukan taklid buta yang dalam bahasa Imam Ali As, “ibadahnya kaum budak.” Yaitu beribadah dan taat karena ingin menghindar dari azab.
2.                   Golongan orang yang serakah kepada surga dan ingin mendapatkan janji-janji Tuhan di dunia dan akhirat, dengan memeperoleh kecendrungan maknawiyat dan agama serta sokongannya, memiliki iman kepada ghaib dan visi yang benar bukan taklid buta. Ibadah orang-orang yang termasuk golongan ini dilakukan karena ada kepentingan yang terpendam dari pelaksanaan ibadah tersebut. Dalam bahasa Imam Ali As ibadah semcam ini adalah ibadahnya kaum peniaga. Golongan orang yang berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari Tuhan.
3.                   Golongan ketiga adalah orang-orang yang beribadah atas dasar pendalaman, pemikiran, visi disertai dengan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, upaya bertungkus lumus untuk mendapatkan Sang Kinasih sejati. Tunduk patuh terhadap pelbagai perintah dan titah Ilahi. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang disebut oleh Imam Ali sebagai “ahrar” orang-orang merdeka. Orang-orang yang menyenangi pelbagai nikmat duniawi dan ukhrawi, jauh dari ananiyah dan egoisme dan lebur dalam kecintaan kepada Tuhan. Atau meminjam bahasa Irfan “fana filLah.” Ia tidak memandang dirinya, tidak menggunakan logika untung dan rugi sehingga dengan itu ia melakukan penghambaan dan ketaatan. Dalam kamus orang-orang yang termasuk dalam golongan ini tidak taat tatkala ingin mendapatkan keuntungan atau membangkang tatkala menderita kerugian. Dalam kebudayaan Islam dan al-Qur’an ketiga golongan ini dengan perbedaan tingkatan dan derajatnyag secara vertikal dan horizontal memiliki spiritualisme hakiki, sepanjang mereka memiliki tanda-tanda di bawah ini dan telah melewati pelbagai ujian, namun jelas bahwa tiga golongan ini tidak sederajat dan golongan ketiga sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan dua golongan sebelumnya
Dari hal tersebut, bahwasannya Tingkatan-tingakatan spiritualisme itu sendiri dibagi menjadi tingkatan, yakni :
1.                  Syari’at (Awwam)
2.                  Thoriqoh (Fana’)
3.                  Hakikat (Baqo’)
            Tanda-tanda yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan orang yang memiliki spiritualisme hakiki di antaranya:
1.                  Orang yang meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan segala kewajiban secara berketerusan
2.                  Iman disertai dengan amal shaleh
3.                  Mengoreksi segala keyakinan dan tidak mengerjakan perbuatan tercela kepada Tuhan seperti bahwa Tuhan memiliki anak atau adanya kemungkinan perbuatan buruk dikerjakan Tuhan, atau bahwa para malaikat adalah putri-putri Tuhan, atau memandang bahwa para malaikat merupakan sekutu Tuhan
4.                  Mengingat Tuhan dan membaca al-Qur’an serta berpartisipasi dalam majelis-majelis maknawi baginya merupakan sebuah kelezatan dan menyaksikan dosa dan para pendosa menyebabkan derita dan kesedihannya.
5.                  Tidak menyerah di hadapan segala kepelikan dan musibah duniawi sehingga menyeretnya kepada kekufuran, melainkan senantiasa berharap, tawakkal kepada Tuhan dan bersabar menghadapinya serta berusaha untuk mencari jalan keluar darinya dan dengan mengingat Tuhan hatinya menjadi tenang.
6.                  Tiada satu pun yang berpengaruh secara mandiri selain Tuhan dan seluruh pelaku – baik pelaku natural atau manusia – merupakan para pelaksana perintah Tuhan dan seluruhnya bergantung dan bersandar kepada Tuhan.
7.                  Dalam kondisi-kondisi tersedianya ruang maksiat dan dosa seperti: sampai kepada sebuah kedudukan atau harta dan tersedianya pelampiasan hawa nafsu, ia menahan nafsunya dan menjaga dirinya dengan jihad akbar, ia menyembelih nafsu ammarahnya serta menjinakkan segala kecendrungannya.
8.                  Tidak bersedih hati karena mendermakan harta, anak dan jiwa di jalan Allah dan memandang bahwa dengan memperoleh harta duniawi dan segala isinya tidak menyebabkan orang keluar dari rel penghambaan.
9.                  Tidak banyak mencari-cari dalih dan dengan kerelaan sempurna ia berserah diri terhadap hukum Allah, Rasul dan Wali-Nya As. Dan jiwanya tidak akan bersedih hati apabila tidak sejalan dengan selera dan tabiatnya
10.              Menerima dan mengidentifkasi segala ilham Rahmani, perhatian dan inayah Ilahi dan sampai kepada kehidupan tayyibah
            Mengidentifikasi spiritualisme emosional dan labil dari spiritualisme hakiki yang stabil dan terpelihara memerlukan kehendak dan tekad yang kuat serta sabar dan ketabahan ekstra. Khususnya pada tingkatan dimana seluruh faktor-faktor sosial dan global bergandengan tangan seiring sejalan ingin memisahkan manusia dari agama dan spiritualitas kemudian menjadikannya sebagai budak para penjajah
            Namun harus diperhatikan bahwa manusia adalah eksisten yang tidak hanya memiliki kemampuan bergerak melawan arus sungai namun ia juga mampu mengubah arah gerakan masyarakat atau dunia dan minimal kemampuan menjaga dirinya pada kondisi yang paling pelik sekali pun, semakin pekerjaan tambah pelik maka nilainya dan ganjaran yang diterimanya akan semakin besar.

B.     Keadaan-keadaan Spiritualisme Sufi
            Tugas utama guru-guru sufi adalah membimbing murid-muridnya supaya terhindar dari berbagai bahaya serta perangkap yang siap menjerat jiwa manakala ia menjumpainya dalam kegelapan. Sebab, alam yang dimasuki adalah Dunia Imajinasi, yang tak berujung. Ia adalah tempat tinggal setan dan segala kekuatan jahat lainnya. Seseorang  yang menempuh perjalanan (spiritual) memerlukan kepala (baca; pikiran) yang jernih selama melakukan perjalanan yang tidak dapat menghindarkan diri dari kekuatan-kekuatan yang menyesatkan yang berada di seberang “wilayah” stabilitas dan keseimbangan. Bagi kaum sufi Syari’at, yang membangun alam lahir maupun alam batin, memberikan sebuah petunjuk yang sangat berguna untuk memasuki dunia imajinal. Tanpanya, seseorang yang sedang menempuh perjalanan spiritual akan terombang ambingkan oleh hembusan angin tipu daya. Akhir-akhir inin orang banyak tertarik dengan spiritualitas Timur dengan harapan akan memperoleh suatu “pemgalaman,” meski mereka menyebut hal itu sebagai suatu pengalaman yang setelah mengalami “kemenyatuan” dengan Tuhan, yang sesuai dengan berbagai tolok ukur dan norma-norma pengalaman spiritual yang dpat dicapai melalui berbagai disiplin spiritual, seperti Sufisme.
            Sebenarnya, terdapat dunia yang tak terhingga di dalam dunia yang tak tampak, sebagian daripadanya lebih mengerikan dan lebih ganas dari belantara hutan yang terdapat dunia mayapada ini. Tidak ada seorang pun yang akrab dengan ajaran-ajaran Sufisme yang berani memasuki belantara itu jika tanpa bimbingan seorang syekh yang dia sendiri pernah memasukinya, manghadapi bahaya-bahaya yang ada di dalamnya dan mampu mengatasinya. Sebagaimana telah kita ketahui, ahwal tidak dapat dilepaskan dari dzauq. Dengan kata lain, melalui keadaan cinta, kerinduan, takut, kebersyukuran, atau kondisi psikologis dan spiritual lainnya yang diperoleh melalui tangan pertama dari orang-orang yang dengannya ahwal menjadi nyata, memiliki ilmu hakikat. Namun dalam pandangan ibn-al ‘arabi, ahwal merupakan sebuah tanda ketidakmatangan dan ketidakstabilan.
            Seperti orang gila, seseorang yang memiliki ahwal kehilangan akalnya dalam menghadapi keadaannya sendiri. Karenanya, sebagaimana halnya dengan orang gila, dia terbebas dari (hukum) Syari’at, begitu pula bagi sang pemilik keadaan, dia tidak trkena tanggung jawab atas apa yang dia alami dan diperbuatnya, tidak ada seorang pun yang dapat meniru dan menentangnya. Guru-guru sufi yang hakiki telah melampaui keadaan-keadaan (ahwal) ini, selalu memiliki “kepala yang dingin” tidak terpengaruh oleh keadaan batin yang mereka alami. Mereka berada dalam maqamat yang bersifat tetap dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengalami ketidakstabilan serta teromabang-ambing oleh keadaan.
            Kata hal atau keadaan berasal dari akar kata ha-wa-la, yang membentuk kata tahawwul atau transmutasi diri. Makna dasar dari kata ini mengalami perubahan dari satu situasi ke situasi lain, atau dari satu keadaan ke keadaan lain. Dalam pengertian nonteknis, sebuah keadaan dapat ,menunjuk pada sebuah situasi, kondisi, masa, perkiraan, dan segala sesuatu yang mengalami perubahan, masa sekarang, dan sebagainya. Dalam pengertian yang secara teknis atau lebih luas, keadaan menunjuk pada situasi yang sedang dihadapi oleh suatu eksisten, meski para Sufi telah mengklasifikasikan keadaan-keadaan psikologis dan spiritual tertentu yang dialami oleh mereka yang sedang menempuh perjalanan spiritual melalui berbagai “kategori” yang umumnya merupakan pasangan dari berbagai pertentangan.
            Dalam pengertian yang paling umum,”keadaan-keadaan” (ahwal) dari segala sesuatu merupakan “kesibukan”  Tuhan, transmutasi penyikapan diri Tuhan yang bersifat konstan, penciptaan setiap saat. “Di dalam makhluk Dia senantiasa menciptakan keadaan-keadaan. Sebagaimana telah ditunjukkan ssebelumnya, keadaan juga dibedakan dari maqam melalui kenyataan bahwa keadaan (hal) merupakan pelimpahan dari Tuhan, sementara maqam diupayakan.
            Seorang sufi sejati memiliki kemampuan untuk melakukan suaru perbuatan “yang meyimpang dari kebiasaan” (kharq al-‘adah) berkaitan dengan apa yang dikehendakinya, namun ia hanya akan melakukannya dalam kondisi tertentu saja dan hal itu sesungguhnya merupakan pengejawantahan perintah Tuhan. Dia sangat memperhatikan adab, meletakkan segala sesuatu sesuai dengan tempat (‘adil), memenuhi hak sesama makhluk, dan mengaktualisasikan keberhambaanya di hadapan tuhan. Dalam hal ini, dia juga memiliki sebuah “keadaan” yang menjadi tanda bagi kematangannya, jika dia tidak slah arah dan terjerumus ke dalam kesesatan.
            Seseorang yang memiliki maqam tertentu berada di dalam dunia ilmu batin, sementara orang yang memiliki keadaan sama halnya dengan orang yang “turun” ke “dunia luar” dan “dunia yang lebih rendah” untuk mengamalkan ilmunya. Hal yang sangat terkait erat dengan ahwal dab tindakan-tindakan mukjizati yang bisa diupayakan oleh salik yang belum matang adalah persoalan tentang berbagai macam ilmu ghaib yang dapat menghasilkan efek- efek setara di luar dunia.


C.    Penguasaan Spiritual
            Hubungan antara syekh atau guru spiritual dan muridnya adalah sebuah hubungan yang memiliki persoalan sangat kompleks dalam mata praktis sufisme dan hanya dapat memahami dlam konteks ini. Semua sufi setuju bahwamemasuki sebuah jalan tanpa bimbingan seorang guru adalah mustahil. Jika seseorang berpikir bahwa dia bisa melakukannya, berarti dia telah tersesat jalannya. Alasan utama bagi penyingnya seorang guru spiritual yang tidak bisa ditwar-tawar lagi adalah bahwa jalan itu tidak dikenal sebelum ia dilewati, dan seseorang tidak mungkin bisa bahwa memperiapkan dirinya sendiri untuk menghadapai berbagai bahaya dan perangkap yang menghadang dijalan itu. Tidak dapat diketahuinya jalan itu kembali pada tak dapat diketahuinya Tuhan.
            Jalan yang dapat diketahui adalah jalan yang Dia ajarkan kepada kita melalui wahyu. Menempuh jalan itu hanya mungkin dilakukan melalui pentunjuk-Nya. Walaupun jalan yang lapang dan mudah dari Syari’ah bisa dilalui oleh semua orang, tetapi jalan yang sempit dan berliku dari Thariqah memerlukan kualifikasi-kualifikasi khusus bagi para pecari dan orang yang menunjukkan jalan itu. Alas an penting kedua bagi pentingnya seorang guru adalah prinsip yang di tunjukkan dalam ayat Al quran,”Masukilah rumah melalui pintu-pintunya”. Setiap upaya untuk memasuki rumah ini oleh orang lain tanpa melalui pintunya berarti merepresentasikan kekurangajaran yang tak terkirakan kepada Tuhan dan Nabi-Nya.
            Sebagaimana ditunjukkan oleh Ibn al-‘arabi dalam pengertian tertentu, terdapat sebuah saling keterpautan antara melakukan ‘latihan’ di bawah bimbingan seorang guru, dengan pengertian yang lebih umum, mengunjungi sang guru serta memohon restu darinya. Penghormatan kepada seorang syekh tiada lain adalah penghormatan kepada Tuhan, itulah penghormatan kepada Tuhan di dalam Tuhan.
            Hubungan antara seorang guru dengan muridnya buakn merupakan suatu hubungan sepihak. Seorang syekh, sebagaimana halnya Nabi, harus senantiasa berdoa,”Tuhanku, tambahkan padaku ilmu,” dan hal itulah yang menjadi sebab Tuhan memilih seorang murid dapat mengambil bagian dari ilmu baru sang guru. Ibn al-‘arabi menunjukkan hal ini ketika berbicara tentang hubungan antara kekayaan dengan kefakiran.   

D.    Tokoh Ahli Spiritual
1.      Syeh Abdul Qodir Jaelani
Tokoh sufi yang paling masyhur, tokoh yang dikenal sebagai cikal bakal berdirinya thiriqoh Qodiryyah, Seorang Pelopor Sufi Ahli Spiritual.
2.      Ibnu Sina
Seorang Fisuf, ilmuwan juga dokter kelahiran, lahir di persia, mempunyai ciri-ciri ahli spiritual yakni Ketengan Hati.
3.      Imam Ghozali
Mempunyai Karya-karya Hebat dalam menguak tabir Sufi Spiritualisme, salah satunya Ikhya’ Ulumuddin.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Dimensi Spiritual = Urgen dalam Diri Manusia, maksudnya dalam proses pencapaian tingkatan hakiki, tasawuf dalam hal ini bentuk ketenangan hati (spiritualisme) sangt berperan aktif.
2.      Dimensi Spiritual sebagai bentuk ketenangan hati
3.      Dan juga Dimensi Spiritual sebagai ruang pembatas yang didalamnya menguak tentang Pengusaan Hati.

B.  Saran
            Dengan adanya ilmu tasawuf yang identik dengan kehidupan hati para ahli spiritual, maka kita sebagai seorang pemeluk agama yang haus akan ilmu hati, seharusnya bias lebih relevan lagi dalam mengimplementasikan ilmu yang didapat yeng bertujuan untuk penyempurnaan hati.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Syahawi, Majdi Muhammad. 2001. Mempertajam Kepekaan Spiritual. Jakarta : Bina Wawasan
Chittick, William. 2001. Pengetahuan Spiritual Ibnu Al-Araby.Yogyakarta : Penerbit Qalam.
Sihab, Alwi. 2009. Akar tasawuf di Indonesia.Bandung : Mizan Media Utama.




No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?