A. Cara
Al-Qur’an diturunkan
Al-Qur’an
itu sampai kepada Nabi melaluli tiga tahap: pertama penyampaian Al-Qur’an dari
Allah kepada lawh al-mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada Rosulullah sebagai utusan Allah terhadap
manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada lawh-mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara dimana
Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah menjelaskan
dalam ayat berikut ini:
مَحْفُوظٍ لَوْحٍ فِي . مَجِيدٌ قُرْآنٌ هُوَ بَلْ
Tetapi
ia (yang didustakan mereka) adalah Al-Qur-an yang mulia yang (tersimpan) dalam
lawh al-mahfuzh. (Q.S Al-Buruj (85): 21-22)
Tidak
ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian Al-Qur’an dari Allah ke lawh
al-mahfuzh. Dan manusia tidak wajib megetahuinya, tetapi wajib mempercayainya
karena begitu yang dikatakan Allah.
Tahap kedua adalah turunnya Al-Qur-an ke
langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia dismpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan tahap kedua
ini bertepatan dengan malam qadar, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Qadr
(97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah (2) ayat 185. Ibnu Abbas
juga mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani, “Al-Qur’an diturunkan
secara sekaligus ke langit dunia pada malam qadar. Setelah itu, ia diturunkan
kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
Tahap
ketiga adalah turunnya Al-Qur’an dari bayt
al-‘izzah secara berangsur-angsur
kepada Nabi Muhammad melalui Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau
selama 23 tahun. Jibril menyampaikan menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi,
sehingga setiap kali wahyu itu disampaikan beliau langsung menghafalnya.
Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 97 menyebutkan hal tersebut,
yaitu
Katakanlah: Siapa saja
yang bermusuhan dengan Jibril, maka sesungguhnya Jibril itu telah menurunkannya
(Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, (ia) membenarkan Kitab yang ada
dihadapannya dan (ia) merupakan petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang
mukmin.
B. Definisi
Wahyu
Mengenai
“Al Wahyu” beraneka-rupa pendapat ahli tafsir, kalam dan ahli lughah.
Pendapat-pendapat itu bila diringkaskan, sarinya adalah sebagai berikut : “Wahyu
itu adalah:yang dibisikkan ke dalam sukma, diilhamkan dan isyarat cepat yang
lebih mirip kepada dirahasiakan daripada dilahirkan”.
Wahyu
menurut ilmu bahasa, ialah: isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu
isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan,
sebagaimana bermakna pula, segala yang kita sebut kepada orang lain untuk
diketahuinya.
Wahyu
menurut istilah, ialah: nama bagi sesuatu yang dicampakkan dengan cara cepat daripada
Allah kedalam dada nabi-nabiNya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadh Al
Qur’an. Disebut dalam kitab Al Masyariq, bahwa
wahyu itu pada asalnya: “sesuatu yang diberitahukan dalam keadaan tersembunyi
dan cepat”. Dikehendaki dengan “cepat”, ialah dicampakkan sesuatu
pengetahuan-pengetahuan kedalam jiwa dalam sekaligus dengan tidak lebih dahulu
timbul fikiran dan muqadimmat-muqadimmatnya.
Al
Ustadzul Imam Muhammad “Abduh dalam bukunya “Risalatut Tauhid” berkata: “Wahyu
itu suatu ‘irfan “pengetahuan yang didapat oleh seorang di dalam dirinya serta
diyakini olehnya bahwa yang demikian itu dari jihat Allah, baik dengan
perantaraan, ataupun dengan tidak berperantaraan. Yang dengan perantaraan
bersuara dan dapat didengar, atau dengan tidak bersuara”
Kata
As Saiyid Rasyid Ridla: “Wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi-nabiNya, ialah
suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka dengan tidak mereka usahakan dan
dengan tidak mereka pelajari. Dia suatu pengetahuan yang mereka peroleh pada
diri mereka dengan tidak lebih dahulu berfikir-fikir dan denga tidak ber-ijtihad,
yang disertai oleh suatu pengetahuan halus yang timbul sendirinya, bahwa yang
mencampakan kedalam jiwa meeka itu, ialah Allah Yang Maha Berkuasa”.
Mencampakkan
(menyampaikannya) adakalanya dengan menurunkan kitab, seperti At-Taurat,
menurut pendapat sebagian orang, atau dengan mengutus malaikat Jibril, seperti
wahyu Al-Qur’an, atau dengan memimpikan,
seperti mimpi-mimpi yang dimimpikan Nabi dipermulaan nubuwwahnya, atau
dengan jalan mengilhamkan atau denga jalan selainnya.
C. Terjadinya
Wahyu
Wahyu
adalah isyarat yang cepat,itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan
lambing, dan terkadang melalui suara semata,dan terkadang pula melalui isyarat
dengan sebagian anggota badan.Wahyu ialah pemberitahuan secara sembunyi dan
cepat yang khusus ditunjukkan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahi
orang lain(Mudzakkir A.S,2012:36)
Rasul
kita Muhammad saw. bukanlah Rasul pertama yang diberi wahyu. Allah telah
memberikan juga wayu kepada rasul-rasul sebelum itu seperti yang diwahyukan
kepadanya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami
telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami
telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak
cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada
Daud. dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung[381].” (an-Nisaa’: 163-164)
Allah
berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s.,
dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang Rasul-rasul yang lain
mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu Nabi
Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari
diwaktumi’raj.
Dengan
demikian, maka wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw. itu bukanlah suatu
hal yang menimbulkan rasa heran. Oleh sebab itu Allah mengingkari rasa heran
itu bagi orang-orang yangberakal.
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan mereka”. orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”. (Yunus: 2)(Mudzakkir A.S,2012:35)
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan mereka”. orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”. (Yunus: 2)(Mudzakkir A.S,2012:35)
D. Cara
Turunnya dan Penyampaiannya Wahyu
Pertama: Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dengan diiringi
seperti bunyi lonceng. Cara ini paling berat dirasakan oleh Nabi SAW. Dari
Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, adakah
engkau merasakan wahyu? Nabi SAW menjawab: Aku mendengar bunyi lonceng kemudian
pada saat itu aku diam. Tidaklah diwahyukan kepadaku melainkan aku menyangka
bahwa nyawaku sedang diambil”.[1]
Kedua: Disampaikan perkataan ke dalam hati dan akalnya, sebagaimana
dijelaskan Nabi SAW: “sesungguhnya ruh al-quds memasukkan perkataan ke dalam
hati dan akalku”.[2]
Ketiga: Jibril datang kepadanya dalam bentuk manusia kemudian
menyampaikan wahyu kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih: “Dan
kadang-kadang malaikat (Jibril) menjelma sebagai seorang lelaki yang datang
kepadaku kemudian menyampaikannya kepadaku lalu aku pun memahami dengan baik
apa yang diucapakannya”. Cara ini paling mudah bagi Rasulullah SAW.[3]
Keempat: Malaikat datang kepadanya di dalam tidur (mimpi) kemudian
ia menyampaikan ayat-ayat. [4]
Kelima: Allah berfirman kepadanya baik dalam keadaan jaga
sebagaimana terjadi di malam isra’ ataupun di dalam tidur sebagaiman dijelaskan
di dalam hadits Mu’adz: “Rabb-ku kepadaku kemudian berfirman: Apa yang
dipertentangkan para malaikat itu?”.[5]
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: “Adalah
Rasulullah SAW, apabila wahyu turun kepadanya, terdengar suara gemertak di
kepalanya, berubah warna mukanya, gigi-giginya menjadi dingin, dan mengeluarkan
kerngat sehingga menetes darinya seperti biji-bijian”.[6]
E. Keraguan
Orang yang Ingkar terhadap Wahyu
SIRAH NABAWIYAH ALBUTHI, HLM. 57.
Hadits permulaan wahyu
ini merupakan asas yang menentukan semua hakikat agama dengan segala keyakinan
dan syari'atnya. Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan persyaratan
mutlak untuk meyakini semua berita ghaib dan masalah syari'at yang dibawa oleh
Nabi SAW. Sebab hakikat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara
manusia yang berpikir dan membuat syari'at dengan akalnya sendiri, dan manusia
yang hanya menyampaikan (syari'at) dari Rabbnya tanpa mengubah, mengurangi atau
menambah.
Itulah sebabnya, maka
para musuh Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fenomena wahyu
dalam kehidupan Nabi SAW. Berbagai argumentasi mereka kerahkan untuk menolak
kebenaran wahyu dan membiaskannya dengan ilham (inspirasi) dan bahkan dengan
sakit ayan. Ini karena mereka menyadari bahwa masalah wahyu merupakan sumber
keyakinan dan keimanan kaum Muslim kepada apa yang dibawa oleh Muhammad SAW
dari Allah. Jika mereka berhasil meragukan kebenaran wahyu, maka mereka akan
menolak segala bentuk keyakinan dan hukumn yang bersumber dari wahyu tersebut.
Selanjutnya mereka akan berhasil mengembangkan permikiran bahwa semua prinsip
dan hukum syari'at yang diserukan Muhammad SAW hanyalah bersumber dari
pemikiran sendiri.
Untuk merealisasikan
tujuan ini, para musuh Islam tersebut berusaha menafsirkan fenomena wahyu
dengan berbagai penafsiran palsu. Mereka memberikan aneka penafsiran palsu
sesuai dengan seni imajinasi yang mereka rajut sendiri. Debagian menggambarkan
bahwa Muhammad SAW terus merenung dan berpikir sampai terbentuk di dalam
benaknya, secara berangsur-angsur, suatu aqisah yang dipandangnya cukup untuk
menghancurkan paganisme (Watsaniyah). Ada pula yang mengatakan bahwa Muhammad
SAW belajar Al Qur'an dan prinsip-prinsip Islam dari pendeta Bahira. Bahkan ada
yang menuduh Muhammad SAW adalah orang yang berpenyakit syaraf atau ayan.
Bila kita perhatikan
tuduhan-tuduhan naif seperti ini, maka akan kita ketahui dengan jelas rahasia
Ilahi mengapa permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW dengan cara yang
telah kami sebutkan dalam hadits Bukhari di atas.
Mengapa Rasulullah SAW
melihat Jibril dengan kedua mata kepalanya untuk pertama kali, padahal wahyu
bisa diturunkan dari balik tabir?
Mengapa Rasulullah SAW
takut dan terkejut memahami kebenarannya, padahal cinta Allah kepada Rasulullah
SAW dan pemeliharaanNya kepadanya semestinya cukup untuk memberikan ketenangan
di hatinya sebingga tidak timbul rasa takut lagi?
Mengapa Rasulullah SAW
khawatir terhadap dirinya kalau-kalau yang dilihatnya di gua Hira' itu adalah
makhluk halus dari Jin?
Mengapa Rasulullah SAW
tidak memperkirakan bahwa itu adalah makhluk utusan Allah?
Mengapa setelah itu
wahyu terputus sekian lama sehingga menimbulkan kesedihan yang mendalam pada
diri Nabi SAW sampai timbul keinginan untuk menjatuhkan diri dari atas gunung?
Pertanyaan-pertanyaan
ini wajar dan alamiah sesuai dengan bentuk permulaan wahyu tersebut. Dari
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, kelak akan terungkap suatu
kebenaran yang dapat menghindarkan setiap orang yang berpikiran sehat dari
perangkap para musuh Islam dan pengaruh rajutan imajinasi palsu mereka.
Bantahannya
Ketika sedang tenggelam
dalam khalwatnya di gua Hira', Rasulullah SAW dikejutkan oleh Jibril yang
muncul dan terlihat di hadapannya seraya berkata kepadanya, "Bacalah"
Hal ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber
dari inspirasi atau intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah
khairiyah (kebenaran yang bersumber dari 'luar') yang tidak ada kaitannya
dengan inspirasi, pancaran hati atau intuisi.
Timbulnya rasa takut dan
cemas pada diri Nabi SAW ketika mendengar dan melihat Jibri, sampai beliau
memutuskan khalwatnya dan segera pulang dengan hati gundah, merupakan suatu
bukti nyata bagi orang yang berakal sehat bahwa Nabi SAW tidak pernah sama
sekali merindukan risalah yang dibebankanNya untuk disebarkannya ke segenap
penjuru dunia ini.
Selain itu, masalah
inspirasi, intuisi, bisikan batin atau perenungan ke alam atas, tidak
mengundang timbulnya rasa takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan
dan perasaan takut dan terkejut. Jika demikian, tentu semua pemikir dan orang
yang melakukan kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.
Anda tentu mengetahui
bahwa perasaan takut, terkejut dan menggigil sekujur badan tidak mungkin dapat
dibuat-buat. Sehingga jelas tidak dapat diterima jiak ada orang mengandalkan
Rasulullah SAW melakukan tersebut.
Kemudian, ilham Allah
kepada Khadijah untuk membawa Nabi SAW menemui Waraqah bin Naufal menanyakan
permasalahannya, merupakan penegasan lain bahwa yang mengejutkannya itu
hanyalah wahyu yang pernah disampaikan kepada para Nabi sebelumnya. Di samping
untuk menghapuskan kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah SAW karena
menafsirkan apa yang dilihat dan didengarnya.
Terhentinya wahyu
setelah itu selama enam bulan atau lebih, mengandung mu'jizat Ilahi yang
mengagumkan. Karena hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para
orientalis yang menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang
bersumber dari dalam diri Muhammad SAW.
Sesungguhnya keadaan dan
peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW ini membuat pemikiran yang mengatakan
bahwa wahyu merupakan intuisi, sebagai suatu pemikiran gila. Sebab, untuk
menumbuhkan inspirasi dan intuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.
Dengan demikian, hadits
permulaan wahyu yang tersebut dalam riwayat shahih merupakan senjata yang
menghancurkan segala serangan musuh-musuh Islam menyangkut masalah wahyu dan
kenabian Muhammad SAW. Dari sini kita dapat memahami mengapa permulaan
penurunan wahyu dilakukan Allah sedemikian rupa.
Orang-orang Jahiliyah
baik lama ataupun yang modern selalu berusaha utnuk untuk menimbulkan keraguan
mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu
lemah sekali dan tidak dapat diterima.
1. Mereka
mengira bahwa Al Qur'an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan
dia sendiri pula yang menyusun "bentuk gaya bahasanya"; Al Qur'an
bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan batil. Apabila Rasulullah SAW menghendaki
kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat
untuk mendukung kekuasaan dirinya, tidak perlu ia menisbatkan semua itu kepada
pihak lain. Dapat saja menisbatkan Al Qur'an kepada dirinya sendiri, karena hal
itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadi manusia tunduk kepada
kekuasaannya. Sebab kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan dan
retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Sangkaan ini menggambarkan
bahwa Rasulullah SAW termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara berdusta dan
palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu tertolak oleh kenyataan sejarah
tentang perilaku Rasulullah SAW, kejujuran dan keterpercayaannya yang terkenal,
yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan
sendiri.
2. Orang-orang
Jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai
ketajaman firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang
benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk,
benar dan salah melalui Ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang
rumit melalui kasyaf, sehingga Al Qur'an itu tidak lain daripada hasil
penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya
bahasa dan retorikanya.[4]
Kesesatan Ahli Ilmu Kalam
Para ahli Ilmu
Kalam telah tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam menjelaskan kalam Allah
sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus.
Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian : Kalam Nafsi yang kekal yang ada
pada dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa;
dan kalam lafdzi (verbal), yaitu yang diturunkan kepada para Nabi AS yang
diantaranya adalah empat buah kitab. Para ahli Ilmu Kalam ini semakin tenggelam
dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan : Apakah Al Qur'an dalam
pengertian kalam lafdzi, makhluk atau bukan? Mereka memperkuat pendapat bahwa
Al Qur'an dalam pengertian kalam lafdzi di atas adalah makhluk. Dengan
demikian, mereka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang
tidak ada nashnya dalam Kitab dan Sunah. Mereka juga menggarap sifat-sifat
Allah dengan analisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam aqidah
Tauhid.
Sedang madzhab ahlu
Sunah wal Jama'ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah
ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih
yang datang dari Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu
adalah salah satu sifat diantara sekian sifat Allah.
Kemudian berlanjutnya
wahyu setelah itu menunjukkan kebenaran wahyu dan bukan seperti yang dikatakan
oleh musuh-musuh Islam sebagai fenomena kejiwaan. Ini dapat dibuktikan dengan
beberapa hal berikut :
1. Perbedaan
yang jelas antara Al Qur'an dan Al Hadits. Nabi SAW memerintahkan para
sahabatnya agar mencatat Al Qur'an segera setelah diturunkan. Sementara untuk
hadits, Nabi SAW hanya memerintahkan agar dihapal saja. Bukan karena hadits itu
sebagai perkataan dari dirinya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan
kenabian, tetapi karena Al Qur'an itu diwahyukan kepadanya dengan makna dan
lafadznya dari Rasulullah. Nabi SAW sering memperingatkan para sahabatnya agar
jangan sampai mencampur-adukkan kalam Allah dengan sabdanya.
2. Nabi
SAW sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung
menjawabnya.
3. Rasulullah
adalah seorang ummi. Tidak mungkin orang seperti ini dapat mengetahui –melalui
meditasi peristiwa- peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, Ibu Musa ketika
menghanyutkan anaknya di sungai, kisah Fir'aun dan lainnya.
4. Kejujuran
Nabi SAW selama empat puluh tahun bergaul bersama kaumnya sehingga dikenal di
kalangan mereka sebagai orang yang jujur dan terpercaya, membuat kita yakin
akan kejujurannya terhadap fenomena wahyu. Pasti Nabi telah berhasil mengusir
keraguan yang membayangi kedua matanya atau pikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta:Bulan Bintang
Wijaya dan Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Alquran. Jakarta: Amzah
Zainal, Abidin. 1992. Seluk Beluk
Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset
[1] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra
Offset. Hal: 71
[2] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra
Offset. Hal: 71
[3] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra
Offset. Hal: 71
[4] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra
Offset. Hal: 71
[5] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra
Offset. Hal: 72
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?