Wednesday, December 14, 2016

makalah study quran cara alquran diturunkan

A.     Cara Al-Qur’an diturunkan
Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi melaluli tiga tahap: pertama penyampaian Al-Qur’an dari Allah kepada  lawh al-mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada Rosulullah sebagai utusan Allah terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada lawh-mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara dimana Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah menjelaskan dalam ayat berikut ini:
مَحْفُوظٍ لَوْحٍ فِي . مَجِيدٌ قُرْآنٌ هُوَ بَلْ
Tetapi ia (yang didustakan mereka) adalah Al-Qur-an yang mulia yang (tersimpan) dalam lawh al-mahfuzh. (Q.S Al-Buruj (85): 21-22)
Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian Al-Qur’an dari Allah ke lawh al-mahfuzh. Dan manusia tidak wajib megetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena begitu yang dikatakan Allah.
 Tahap kedua adalah turunnya Al-Qur-an ke langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia dismpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam qadar, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah (2) ayat 185. Ibnu Abbas juga mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani, “Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam qadar. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
Tahap ketiga adalah turunnya Al-Qur’an dari bayt al-‘izzah  secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad melalui Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau selama 23 tahun. Jibril menyampaikan  menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi, sehingga setiap kali wahyu itu disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 97 menyebutkan hal tersebut, yaitu 
Katakanlah: Siapa saja yang bermusuhan dengan Jibril, maka sesungguhnya Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, (ia) membenarkan Kitab yang ada dihadapannya dan (ia) merupakan petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang mukmin.

B.      Definisi Wahyu
Mengenai “Al Wahyu” beraneka-rupa pendapat ahli tafsir, kalam dan ahli lughah. Pendapat-pendapat itu bila diringkaskan, sarinya adalah sebagai berikut : “Wahyu itu adalah:yang dibisikkan ke dalam sukma, diilhamkan dan isyarat cepat yang lebih mirip kepada dirahasiakan daripada dilahirkan”.
Wahyu menurut ilmu bahasa, ialah: isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan, sebagaimana bermakna pula, segala yang kita sebut kepada orang lain untuk diketahuinya.
Wahyu menurut istilah, ialah: nama bagi sesuatu yang dicampakkan dengan cara cepat daripada Allah kedalam dada nabi-nabiNya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadh Al Qur’an. Disebut dalam kitab Al Masyariq, bahwa wahyu itu pada asalnya: “sesuatu yang diberitahukan dalam keadaan tersembunyi dan cepat”. Dikehendaki dengan “cepat”, ialah dicampakkan sesuatu pengetahuan-pengetahuan kedalam jiwa dalam sekaligus dengan tidak lebih dahulu timbul fikiran dan muqadimmat-muqadimmatnya.
Al Ustadzul Imam Muhammad “Abduh dalam bukunya “Risalatut Tauhid” berkata: “Wahyu itu suatu ‘irfan “pengetahuan yang didapat oleh seorang di dalam dirinya serta diyakini olehnya bahwa yang demikian itu dari jihat Allah, baik dengan perantaraan, ataupun dengan tidak berperantaraan. Yang dengan perantaraan bersuara dan dapat didengar, atau dengan tidak bersuara”
Kata As Saiyid Rasyid Ridla: “Wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi-nabiNya, ialah suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka dengan tidak mereka usahakan dan dengan tidak mereka pelajari. Dia suatu pengetahuan yang mereka peroleh pada diri mereka dengan tidak lebih dahulu berfikir-fikir dan denga tidak ber-ijtihad, yang disertai oleh suatu pengetahuan halus yang timbul sendirinya, bahwa yang mencampakan kedalam jiwa meeka itu, ialah Allah Yang Maha Berkuasa”.
Mencampakkan (menyampaikannya) adakalanya dengan menurunkan kitab, seperti At-Taurat, menurut pendapat sebagian orang, atau dengan mengutus malaikat Jibril, seperti wahyu Al-Qur’an,  atau dengan memimpikan, seperti mimpi-mimpi yang dimimpikan Nabi dipermulaan nubuwwahnya, atau dengan  jalan  mengilhamkan atau denga  jalan selainnya.


C.     Terjadinya Wahyu
Wahyu adalah isyarat yang cepat,itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambing, dan terkadang melalui suara semata,dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.Wahyu ialah pemberitahuan secara sembunyi dan cepat yang khusus ditunjukkan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahi orang lain(Mudzakkir A.S,2012:36)
Rasul kita Muhammad saw. bukanlah Rasul pertama yang diberi wahyu. Allah telah memberikan juga wayu kepada rasul-rasul sebelum itu seperti yang diwahyukan kepadanya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung[381].” (an-Nisaa’: 163-164)
Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang Rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari diwaktumi’raj.
Dengan demikian, maka wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw. itu bukanlah suatu hal yang menimbulkan rasa heran. Oleh sebab itu Allah mengingkari rasa heran itu bagi orang-orang yangberakal.
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan mereka”. orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”. (Yunus: 2)(Mudzakkir A.S,2012:35)
D.     Cara Turunnya dan Penyampaiannya Wahyu
Pertama: Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dengan diiringi seperti bunyi lonceng. Cara ini paling berat dirasakan oleh Nabi SAW. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, adakah engkau merasakan wahyu? Nabi SAW menjawab: Aku mendengar bunyi lonceng kemudian pada saat itu aku diam. Tidaklah diwahyukan kepadaku melainkan aku menyangka bahwa nyawaku sedang diambil”.[1]
Kedua: Disampaikan perkataan ke dalam hati dan akalnya, sebagaimana dijelaskan Nabi SAW: “sesungguhnya ruh al-quds memasukkan perkataan ke dalam hati dan akalku”.[2]
Ketiga: Jibril datang kepadanya dalam bentuk manusia kemudian menyampaikan wahyu kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih: “Dan kadang-kadang malaikat (Jibril) menjelma sebagai seorang lelaki yang datang kepadaku kemudian menyampaikannya kepadaku lalu aku pun memahami dengan baik apa yang diucapakannya”. Cara ini paling mudah bagi Rasulullah SAW.[3]
Keempat: Malaikat datang kepadanya di dalam tidur (mimpi) kemudian ia menyampaikan ayat-ayat. [4]
Kelima: Allah berfirman kepadanya baik dalam keadaan jaga sebagaimana terjadi di malam isra’ ataupun di dalam tidur sebagaiman dijelaskan di dalam hadits Mu’adz: “Rabb-ku kepadaku kemudian berfirman: Apa yang dipertentangkan para malaikat itu?”.[5]
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW, apabila wahyu turun kepadanya, terdengar suara gemertak di kepalanya, berubah warna mukanya, gigi-giginya menjadi dingin, dan mengeluarkan kerngat sehingga menetes darinya seperti biji-bijian”.[6]
E.      Keraguan Orang yang Ingkar terhadap Wahyu 
SIRAH NABAWIYAH ALBUTHI, HLM. 57.
Hadits permulaan wahyu ini merupakan asas yang menentukan semua hakikat agama dengan segala keyakinan dan syari'atnya. Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan persyaratan mutlak untuk meyakini semua berita ghaib dan masalah syari'at yang dibawa oleh Nabi SAW. Sebab hakikat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia yang berpikir dan membuat syari'at dengan akalnya sendiri, dan manusia yang hanya menyampaikan (syari'at) dari Rabbnya tanpa mengubah, mengurangi atau menambah.
Itulah sebabnya, maka para musuh Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fenomena wahyu dalam kehidupan Nabi SAW. Berbagai argumentasi mereka kerahkan untuk menolak kebenaran wahyu dan membiaskannya dengan ilham (inspirasi) dan bahkan dengan sakit ayan. Ini karena mereka menyadari bahwa masalah wahyu merupakan sumber keyakinan dan keimanan kaum Muslim kepada apa yang dibawa oleh Muhammad SAW dari Allah. Jika mereka berhasil meragukan kebenaran wahyu, maka mereka akan menolak segala bentuk keyakinan dan hukumn yang bersumber dari wahyu tersebut. Selanjutnya mereka akan berhasil mengembangkan permikiran bahwa semua prinsip dan hukum syari'at yang diserukan Muhammad SAW hanyalah bersumber dari pemikiran sendiri.
Untuk merealisasikan tujuan ini, para musuh Islam tersebut berusaha menafsirkan fenomena wahyu dengan berbagai penafsiran palsu. Mereka memberikan aneka penafsiran palsu sesuai dengan seni imajinasi yang mereka rajut sendiri. Debagian menggambarkan bahwa Muhammad SAW terus merenung dan berpikir sampai terbentuk di dalam benaknya, secara berangsur-angsur, suatu aqisah yang dipandangnya cukup untuk menghancurkan paganisme (Watsaniyah). Ada pula yang mengatakan bahwa Muhammad SAW belajar Al Qur'an dan prinsip-prinsip Islam dari pendeta Bahira. Bahkan ada yang menuduh Muhammad SAW adalah orang yang berpenyakit syaraf atau ayan.
Bila kita perhatikan tuduhan-tuduhan naif seperti ini, maka akan kita ketahui dengan jelas rahasia Ilahi mengapa permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW dengan cara yang telah kami sebutkan dalam hadits Bukhari di atas.
Mengapa Rasulullah SAW melihat Jibril dengan kedua mata kepalanya untuk pertama kali, padahal wahyu bisa diturunkan dari balik tabir?
Mengapa Rasulullah SAW takut dan terkejut memahami kebenarannya, padahal cinta Allah kepada Rasulullah SAW dan pemeliharaanNya kepadanya semestinya cukup untuk memberikan ketenangan di hatinya sebingga tidak timbul rasa takut lagi?
Mengapa Rasulullah SAW khawatir terhadap dirinya kalau-kalau yang dilihatnya di gua Hira' itu adalah makhluk halus dari Jin?
Mengapa Rasulullah SAW tidak memperkirakan bahwa itu adalah makhluk utusan Allah?
Mengapa setelah itu wahyu terputus sekian lama sehingga menimbulkan kesedihan yang mendalam pada diri Nabi SAW sampai timbul keinginan untuk menjatuhkan diri dari atas gunung?
Pertanyaan-pertanyaan ini wajar dan alamiah sesuai dengan bentuk permulaan wahyu tersebut. Dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, kelak akan terungkap suatu kebenaran yang dapat menghindarkan setiap orang yang berpikiran sehat dari perangkap para musuh Islam dan pengaruh rajutan imajinasi palsu mereka.

Bantahannya
Ketika sedang tenggelam dalam khalwatnya di gua Hira', Rasulullah SAW dikejutkan oleh Jibril yang muncul dan terlihat di hadapannya seraya berkata kepadanya, "Bacalah" Hal ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi atau intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah khairiyah (kebenaran yang bersumber dari 'luar') yang tidak ada kaitannya dengan inspirasi, pancaran hati atau intuisi.
Timbulnya rasa takut dan cemas pada diri Nabi SAW ketika mendengar dan melihat Jibri, sampai beliau memutuskan khalwatnya dan segera pulang dengan hati gundah, merupakan suatu bukti nyata bagi orang yang berakal sehat bahwa Nabi SAW tidak pernah sama sekali merindukan risalah yang dibebankanNya untuk disebarkannya ke segenap penjuru dunia ini.
Selain itu, masalah inspirasi, intuisi, bisikan batin atau perenungan ke alam atas, tidak mengundang timbulnya rasa takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan dan perasaan takut dan terkejut. Jika demikian, tentu semua pemikir dan orang yang melakukan kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.
Anda tentu mengetahui bahwa perasaan takut, terkejut dan menggigil sekujur badan tidak mungkin dapat dibuat-buat. Sehingga jelas tidak dapat diterima jiak ada orang mengandalkan Rasulullah SAW melakukan tersebut.
Kemudian, ilham Allah kepada Khadijah untuk membawa Nabi SAW menemui Waraqah bin Naufal menanyakan permasalahannya, merupakan penegasan lain bahwa yang mengejutkannya itu hanyalah wahyu yang pernah disampaikan kepada para Nabi sebelumnya. Di samping untuk menghapuskan kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah SAW karena menafsirkan apa yang dilihat dan didengarnya.
Terhentinya wahyu setelah itu selama enam bulan atau lebih, mengandung mu'jizat Ilahi yang mengagumkan. Karena hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para orientalis yang menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari dalam diri Muhammad SAW.
Sesungguhnya keadaan dan peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW ini membuat pemikiran yang mengatakan bahwa wahyu merupakan intuisi, sebagai suatu pemikiran gila. Sebab, untuk menumbuhkan inspirasi dan intuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.
Dengan demikian, hadits permulaan wahyu yang tersebut dalam riwayat shahih merupakan senjata yang menghancurkan segala serangan musuh-musuh Islam menyangkut masalah wahyu dan kenabian Muhammad SAW. Dari sini kita dapat memahami mengapa permulaan penurunan wahyu dilakukan Allah sedemikian rupa.
Orang-orang Jahiliyah baik lama ataupun yang modern selalu berusaha utnuk untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu lemah sekali dan tidak dapat diterima.
1.    Mereka mengira bahwa Al Qur'an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan dia sendiri pula yang menyusun "bentuk gaya bahasanya"; Al Qur'an bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan batil. Apabila Rasulullah SAW menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaan dirinya, tidak perlu ia menisbatkan semua itu kepada pihak lain. Dapat saja menisbatkan Al Qur'an kepada dirinya sendiri, karena hal itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadi manusia tunduk kepada kekuasaannya. Sebab kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan dan retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah SAW termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara berdusta dan palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu tertolak oleh kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah SAW, kejujuran dan keterpercayaannya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan sendiri.
2.    Orang-orang Jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai ketajaman firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui Ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Al Qur'an itu tidak lain daripada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya.[4]

Kesesatan Ahli Ilmu Kalam
Para ahli Ilmu Kalam telah tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian : Kalam Nafsi yang kekal yang ada pada dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa; dan kalam lafdzi (verbal), yaitu yang diturunkan kepada para Nabi AS yang diantaranya adalah empat buah kitab. Para ahli Ilmu Kalam ini semakin tenggelam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan : Apakah Al Qur'an dalam pengertian kalam lafdzi, makhluk atau bukan? Mereka memperkuat pendapat bahwa Al Qur'an dalam pengertian kalam lafdzi di atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nashnya dalam Kitab dan Sunah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam aqidah Tauhid.
Sedang madzhab ahlu Sunah wal Jama'ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang datang dari Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat diantara sekian sifat Allah.

Kemudian berlanjutnya wahyu setelah itu menunjukkan kebenaran wahyu dan bukan seperti yang dikatakan oleh musuh-musuh Islam sebagai fenomena kejiwaan. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa hal berikut :
1.    Perbedaan yang jelas antara Al Qur'an dan Al Hadits. Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya agar mencatat Al Qur'an segera setelah diturunkan. Sementara untuk hadits, Nabi SAW hanya memerintahkan agar dihapal saja. Bukan karena hadits itu sebagai perkataan dari dirinya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan kenabian, tetapi karena Al Qur'an itu diwahyukan kepadanya dengan makna dan lafadznya dari Rasulullah. Nabi SAW sering memperingatkan para sahabatnya agar jangan sampai mencampur-adukkan kalam Allah dengan sabdanya.
2.    Nabi SAW sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung menjawabnya.
3.    Rasulullah adalah seorang ummi. Tidak mungkin orang seperti ini dapat mengetahui –melalui meditasi peristiwa- peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, Ibu Musa ketika menghanyutkan anaknya di sungai, kisah Fir'aun dan lainnya.
4.    Kejujuran Nabi SAW selama empat puluh tahun bergaul bersama kaumnya sehingga dikenal di kalangan mereka sebagai orang yang jujur dan terpercaya, membuat kita yakin akan kejujurannya terhadap fenomena wahyu. Pasti Nabi telah berhasil mengusir keraguan yang membayangi kedua matanya atau pikirannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy,Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta:Bulan Bintang
Wijaya dan Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Alquran. Jakarta: Amzah
Zainal, Abidin. 1992. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset





[1] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset. Hal: 71
[2] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset. Hal: 71
[3] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset. Hal: 71
[4] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset. Hal: 71
[5] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset. Hal: 72
[6] Abidin, Zainal.--. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Melton Putra Offset. Hal: 72


No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah berkunjung, jangan lupa beri komentar ya ?